Dalam Al-Qur'an, Surat Al-Lail (malam hari) adalah surat ke-92 yang diturunkan di Mekkah. Surat ini mengandung sumpah-sumpah Allah yang agung, yang menekankan tentang perbedaan nasib manusia berdasarkan amal perbuatan mereka di dunia. Ayat-ayat awal bersumpah demi kegelapan malam dan terangnya siang, serta penciptaan laki-laki dan perempuan, yang semuanya menunjukkan kesempurnaan ciptaan dan kekuasaan Tuhan.
Pembahasan mendalam seringkali terfokus pada ayat-ayat penutup surat ini, di mana Allah SWT menjelaskan konsekuensi logis dari tindakan manusia. Salah satu ayat kunci yang menjadi penentu adalah ayat ketujuh. Ayat ini secara spesifik membahas tentang siapa yang berusaha untuk menjadi baik dan bertakwa.
Lafal yang menunjukkan inti dari ayat ketujuh Surat Al-Lail adalah sebagai berikut. Lafal ini merupakan bagian dari janji ilahi tentang balasan bagi orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam berbuat baik.
Fa ammā man a‘ṭā wattaqā
Terjemahan: Maka adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa,
Frasa kunci dalam ayat ini adalah "أَعْطَى" (a‘ṭā) yang berarti memberi atau menafkahkan, dan "اتَّقَى" (ittaqā) yang berarti bertakwa atau menjaga diri dari murka Allah. Kedua kata kerja ini saling melengkapi dan merupakan fondasi utama dalam ajaran moral Islam.
"أَعْطَى" (A'ṭā): Memberi dan Kemurahan Hati Makna memberi di sini tidak terbatas hanya pada zakat wajib, tetapi mencakup sedekah sunnah, membantu sesama, dan menginfakkan harta benda yang dimiliki di jalan Allah. Ayat ini menekankan bahwa kekayaan yang sesungguhnya bukanlah tumpukan materi, melainkan kemauan untuk membagikannya. Ketika seseorang memilih untuk "memberi", ia telah melepaskan ikatan duniawi yang seringkali menjerat hati manusia. Kemurahan hati ini merupakan bukti nyata keimanan yang tidak hanya diucapkan lisan, namun diwujudkan melalui tindakan nyata. Dalam konteks ayat ini, memberi adalah tindakan aktif melawan sifat kikir yang merupakan penyakit hati.
"اتَّقَى" (Ittaqā): Ketakwaan Sebagai Penjaga Kata "attaqa" berasal dari akar kata "wiqayah" yang berarti perlindungan atau penjagaan. Bertakwa berarti menempatkan diri dalam perlindungan Allah dengan cara menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ketakwaan adalah kompas moral. Tanpa ketakwaan, tindakan memberi (a'ṭā) bisa menjadi riya' (pamer) atau hanya sekadar formalitas. Ayat ini menyandingkan kedua sifat tersebut: seseorang yang memberi harus didasari oleh ketakwaan yang murni, sehingga ia benar-benar mencari ridha Allah, bukan pujian manusia.
Ayat 7 ini adalah prasyarat untuk ayat-ayat selanjutnya yang menjanjikan balasan yang terbaik. Ayat 8 berpasangan dengan ayat 7:
"وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى" (Wa ṣaddaqa bil-ḥusnā), yaitu membenarkan janji terbaik (Al-Husna, merujuk pada pahala terbaik atau kalimat tauhid).
Ini menunjukkan bahwa proses menuju kebahagiaan sejati memerlukan tiga pilar: memberi (ekonomi), bertakwa (spiritualitas), dan membenarkan (intelektual/keyakinan). Surat Al-Lail, melalui lafal ayat 7 ini, mengajarkan bahwa kemaslahatan sosial (memberi) harus diimbangi dengan kesadaran ilahiah (takwa). Ketika kedua elemen ini bersatu, maka terjadilah keseimbangan sempurna yang dijanjikan Allah SWT berupa kenikmatan abadi di akhirat.
Pemahaman mendalam terhadap lafal "Fa ammā man a‘ṭā wattaqā" menjadi pengingat abadi bagi umat Islam bahwa keberhasilan sejati tidak diukur dari akumulasi harta, melainkan dari seberapa banyak harta tersebut didistribusikan dengan hati yang tulus dan dilandasi oleh rasa takut kepada Tuhan.