Lailatul Qadar, atau Malam Kemuliaan, adalah salah satu malam paling agung dalam kalender Islam. Malam ini diperingati sebagai malam di mana Al-Qur'an pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Meskipun tanggal pastinya dirahasiakan, malam ini diyakini jatuh pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadan. Di antara para ulama besar yang memberikan kedalaman pemahaman spiritual mengenai malam ini adalah Imam Abu Hamid Al Ghazali, seorang mujaddid dan ahli tasawuf terkemuka.
Bagi Imam Al Ghazali, sebagaimana diuraikan dalam mahakaryanya, Ihya Ulumuddin, Lailatul Qadar bukan sekadar peristiwa sejarah, melainkan sebuah peluang spiritual yang harus dimanfaatkan secara maksimal. Beliau menekankan bahwa kemuliaan malam ini terletak pada **pembukaan gerbang rahmat dan pengampunan Ilahi yang tiada tara**. Keutamaan malam ini jauh melampaui ibadah seribu bulan jika seorang hamba berhasil meraih keridaan Allah di dalamnya.
Al Ghazali mengajarkan bahwa keagungan malam ini tidak hanya bersifat eksternal (melakukan shalat dan doa), tetapi harus disertai dengan pembersihan internal. Ia adalah waktu untuk **muhasabah (introspeksi diri)** mendalam. Jantung yang kotor, penuh dengan kesombongan, dengki, atau kelalaian, akan sulit menangkap nur (cahaya) yang turun pada malam tersebut. Oleh karena itu, persiapan fisik dan spiritual sama pentingnya.
Dalam pandangan tasawuf Al Ghazali, kualitas ibadah jauh lebih penting daripada kuantitasnya. Ketika membahas ibadah di Lailatul Qadar, beliau sangat menekankan pentingnya hudurul qalb—kehadiran hati. Melakukan shalat sunnah dua rakaat dengan hati yang lalai dinilai kurang bernilai dibandingkan dengan satu tasbih yang diucapkan dengan kesadaran penuh akan kebesaran Allah.
Meskipun tanda-tanda fisik yang disebutkan dalam beberapa riwayat—seperti udara yang tenang, tidak panas dan tidak dingin—diakui, Al Ghazali cenderung mengarahkan fokus kepada tanda-tanda spiritual yang dirasakan oleh orang yang beribadah. Seseorang yang benar-benar menghidupkan Lailatul Qadar akan merasakan kedamaian yang mendalam, peningkatan rasa cinta kepada Allah, dan dorongan kuat untuk meninggalkan maksiat.
Keutamaan utama yang ditekankan adalah **pengampunan dosa**. Al Ghazali melihat malam ini sebagai "diskon besar" dari Allah SWT, di mana amal yang dilakukan nilainya melebihi seribu bulan. Ini adalah kesempatan emas untuk "memperbarui kontrak" keimanan dan memperkuat ikatan batin dengan Sang Haq. Bagi pejalan spiritual (salik), malam ini adalah momen 'penyempurnaan' atau 'penyegaran' spiritual yang sangat krusial sebelum kembali menghadapi tantangan kehidupan duniawi.
Keyakinan bahwa Lailatul Qadar berada di malam-malam ganjil (21, 23, 25, 27, atau 29 Ramadan) mendorong umat Islam untuk bertekad menghidupkan seluruh malam tersebut. Al Ghazali mendorong umat untuk tidak bermalas-malasan hanya menunggu kepastian tanggal. Mentalitas "semua malam adalah Lailatul Qadar" harus diterapkan. Artinya, setiap malam di sepuluh hari terakhir Ramadan harus diperlakukan seolah-olah malam itu adalah malam yang dijanjikan kemuliaan tersebut. Ini mengajarkan disiplin spiritual yang konsisten, bukan hanya musiman.
Intisari ajaran Imam Al Ghazali mengenai Lailatul Qadar adalah bahwa malam ini adalah undangan untuk pulang kepada Allah. Bukan sekadar menanti keajaiban, melainkan mempersiapkan wadah hati agar layak menerima limpahan karunia yang diturunkan. Dengan ketulusan, air mata penyesalan, dan kerinduan yang membara, seorang hamba dapat meraih keberuntungan hakiki yang dijanjikan dalam malam yang lebih baik daripada seribu bulan tersebut.