Dalam konteks olahraga, seringkali kita mendengar dua istilah yang merujuk pada permainan yang sama: Badminton dan Bulutangkis. Bagi orang awam, kedua istilah ini sering digunakan secara bergantian tanpa menyadari adanya nuansa perbedaan, baik secara linguistik maupun historis, meskipun pada intinya merujuk pada aktivitas olahraga yang dimainkan dengan raket dan kok (shuttlecock).
Badminton adalah nama resmi internasional untuk olahraga ini. Istilah ini berasal dari bahasa Inggris, di mana nama tersebut merujuk pada Badminton House di Gloucestershire, Inggris, tempat olahraga ini diperkirakan dikembangkan secara formal pada abad ke-19. Dalam ranah global, Badminton diatur oleh Badminton World Federation (BWF), dan semua peraturan yang digunakan dalam turnamen resmi (seperti Olimpiade atau Kejuaraan Dunia) menggunakan terminologi dan kerangka aturan Badminton.
Secara teknis, Badminton merujuk pada olahraga raket yang dimainkan oleh dua pemain (tunggal) atau dua pasangan (ganda) yang saling berhadapan melintasi net, dengan tujuan menjatuhkan shuttlecock ke area lapangan lawan.
Sementara itu, Bulutangkis adalah padanan kata atau terjemahan langsung dari istilah "Badminton" ke dalam Bahasa Indonesia. Kata ini secara harfiah menggambarkan komponen utama permainan tersebut: bola yang terbuat dari susunan bulu unggas (atau material sintetis yang meniru bulu) yang disebut kok, yang kemudian tangki (dipukul) menggunakan raket.
Di Indonesia, Bulutangkis bukan sekadar terjemahan, melainkan identitas olahraga nasional yang sangat mengakar. Sejak awal kemerdekaan, organisasi olahraga nasional menggunakan nama Bulutangkis, dan ini tercermin dalam struktur organisasi seperti Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI).
Jika kita mencari perbedaan mendasar antara Badminton dan Bulutangkis, jawabannya sangat sederhana: Tidak ada perbedaan dalam aspek permainan, peraturan, maupun peralatan yang digunakan. Perbedaan utama terletak pada ranah bahasa dan konteks penggunaannya:
Meskipun maknanya sama, memahami penggunaan kedua istilah ini penting untuk komunikasi yang tepat. Ketika seorang atlet Indonesia bertanding di kancah internasional, ia berpartisipasi dalam cabang olahraga bernama Badminton. Namun, ketika ia kembali ke Tanah Air dan menjadi bagian dari kebanggaan bangsa, ia adalah pahlawan Bulutangkis Indonesia.
Peraturan yang mengatur kedua istilah ini adalah tunggal. Tinggi net, ukuran lapangan, berat dan jenis kok, serta sistem penilaian (seperti poin 21 rally point system) adalah standar internasional yang dianut oleh semua federasi, baik ketika mereka menyebutnya Badminton maupun Bulutangkis. Begitu juga dengan raket; raket yang digunakan adalah raket standar Badminton, bukan peralatan khusus yang berbeda hanya karena penamaan lokal.
Kesimpulannya, Badminton adalah nama global, sedangkan Bulutangkis adalah nama Indonesia untuk olahraga yang sama persis. Ini adalah contoh bagus bagaimana sebuah olahraga global diadopsi dan diberi identitas linguistik yang kuat oleh masyarakat lokal.
Popularitas Bulutangkis di Indonesia menjadikannya olahraga yang ikonik. Keberhasilan atlet-atlet Indonesia di panggung dunia telah menempatkan Bulutangkis sebagai primadona, seringkali melampaui popularitas olahraga lain. Fenomena ini semakin memperkuat penggunaan kata "Bulutangkis" sebagai penanda identitas nasional dalam olahraga ini. Dibandingkan dengan olahraga lain yang mungkin hanya diadopsi namanya (seperti Basket atau Voli), Bulutangkis berhasil di-indonesiakan secara linguistik.
Oleh karena itu, ketika berbicara tentang atlet juara seperti Taufik Hidayat, Susy Susanti, atau Hendra/Setiawan, mereka adalah legenda Badminton dunia yang lahir dari sistem pembinaan Bulutangkis Indonesia. Tidak ada keraguan bahwa kedua kata tersebut merujuk pada kegembiraan yang sama saat melihat shuttlecock melayang cepat di udara.