Surat Al-Lail (Malam) adalah surat ke-92 dalam Al-Qur'an yang terdiri dari 21 ayat. Ayat-ayat awal surat ini (ayat 1 hingga 11) dibuka dengan serangkaian sumpah agung dari Allah SWT terhadap fenomena alam yang sangat jelas terlihat dan mendasar dalam kehidupan kita: pergantian malam dan siang. Penggunaan sumpah dengan lafaz "Demi..." (Wa) dalam Al-Qur'an selalu menandakan pentingnya objek yang disumpah, yang menunjukkan keagungan ciptaan dan kekuasaan Sang Pencipta.
1. W al-laili itha yaghsya,
Demi malam apabila ia menyelimuti (gelap gulita),
2. W an-nahari itha tajalla,
dan demi siang apabila ia terang benderang,
3. Wa ma khalaqa adh-dhakara wal-untha,
dan demi Tuhan yang menciptakan laki-laki dan perempuan,
4. Inna sa’yakum lasatta,
sesungguhnya usaha kamu itu sungguh bermacam-macam.
5. Fa ammaa man a'taa wattaqa,
Maka barangsiapa yang memberikan hartanya dan bertakwa,
6. Wa saddaqa bil-husna,
dan membenarkan adanya (balasan) yang paling baik (Surga),
7. Fa sanu'assiruhu lil-yusra,
maka kelak Kami akan memudahkan baginya jalan kemudahan (kebahagiaan).
8. Wa ammaa man bakhila wa istaghna,
Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak butuh pertolongan Allah),
9. Wa kadhdhaba bil-husna,
dan mendustakan (balasan) yang paling baik,
10. Fa sanu'assiruhu lil-'usra,
maka kelak Kami akan memudahkan baginya jalan kesukaran (kesengsaraan).
11. Wa ma tughni 'anhu maalu-hu itha taradda,
Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa (masuk neraka).
Allah memulai dengan bersumpah demi malam yang menutupi kegelapan (ayat 1) dan siang yang menampakkan cahaya (ayat 2). Pergantian ini adalah siklus abadi yang menunjukkan kekuasaan Allah yang tak terbatas dalam mengatur alam semesta. Setelah sumpah kosmik ini, Allah bersumpah atas ciptaan-Nya yang paling mulia di muka bumi, yaitu perbedaan jenis manusia (laki-laki dan perempuan) (ayat 3). Sumpah-sumpah ini diletakkan sebagai landasan untuk penegasan inti pembahasan surat ini, yaitu tentang pertanggungjawaban amal manusia.
Ayat 4 menjadi penghubung yang krusial: "Sesungguhnya usaha kamu itu sungguh bermacam-macam." Di bawah naungan malam dan siang, di bawah kekuasaan Sang Pencipta segala jenis, manusia menjalani rentang kehidupan dengan berbagai jenis perbuatan: ada yang baik, ada yang buruk; ada yang dermawan, ada yang kikir. Keragaman upaya ini akan mendapat balasan yang setimpal.
Ayat 5 hingga 10 menjelaskan konsekuensi dari keragaman amal tersebut, membagi manusia menjadi dua kategori besar.
Orang yang beriman sejati adalah mereka yang aktif dalam kebaikan: pertama, mereka menginfakkan harta mereka di jalan Allah (kedermawanan), dan kedua, mereka bertakwa—menjaga diri dari maksiat. Lebih lanjut, mereka meyakini kebenaran janji Allah berupa surga (al-husna). Bagi tipe manusia ini, Allah menjanjikan kemudahan (sanusassiruhu lil yusra). Ini bukan hanya kemudahan materi di dunia, tetapi kemudahan dalam menjalankan ketaatan, kemudahan menghadapi sakaratul maut, hingga kemudahan dalam melewati hisab di akhirat.
Sebaliknya, terdapat tipe manusia yang dicirikan oleh kekikiran (enggan bersedekah) dan kesombongan ('ujub) dengan merasa dirinya sudah cukup tanpa perlu bergantung pada Allah. Mereka juga mendustakan kebenaran akan adanya balasan terbaik (Surga). Konsekuensinya, Allah akan memudahkan mereka menuju jalan kesukaran (sanusassiruhu lil 'usra). Kesukaran ini merujuk pada kesulitan dalam meninggalkan maksiat, kesempitan saat menghadapi musibah, dan kesulitan yang amat besar saat menghadapi perhitungan amal kelak.
Ayat 11 memberikan penutup yang tegas: "Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa." Ketika seseorang meninggal dunia dan menghadapi realitas akhirat, segala bentuk kekayaan yang dulu ia kumpulkan dan ia banggakan akan terputus nilainya. Harta benda tidak bisa membeli ampunan atau menolong dari azab. Ini adalah peringatan keras bagi mereka yang menjadikan harta sebagai tuhan kedua atau sebagai tameng dari ketaatan kepada Allah.
Secara keseluruhan, QS Al-Lail ayat 1 sampai 11 mengajarkan bahwa keberuntungan sejati tidak ditentukan oleh status sosial atau kekayaan materi, melainkan oleh kualitas upaya (amal) seorang hamba yang didasari oleh ketakwaan dan pembenaran terhadap janji-janji Allah. Allah telah menetapkan jalan kemudahan bagi yang dermawan dan bertakwa, sementara jalan kesukaran menunggu mereka yang kikir dan angkuh.