Surat Al-Lail (Malam) adalah salah satu surat Makkiyah yang kaya akan makna filosofis dan peringatan keras mengenai tanggung jawab individu di hadapan Allah SWT. Ayat 1 hingga 11 secara khusus dibuka dengan serangkaian sumpah yang kuat—sebuah metode retoris yang digunakan Al-Qur'an untuk menarik perhatian pembaca pada kebenaran mendasar yang akan disampaikan.
Pembukaan surat ini, yang berfokus pada pergantian siang dan malam, bukan sekadar deskripsi alam. Ia adalah penegasan bahwa realitas eksistensi kita diatur oleh siklus yang pasti, dan di dalam siklus itulah terletak janji dan ancaman Ilahi. Mari kita telaah makna mendalam dari sebelas ayat pertama ini.
Berikut adalah teks asli ayat 1 hingga 11 beserta terjemahannya, yang menjadi fondasi pembahasan kita.
Tiga sumpah pertama (ayat 1-3) menampilkan dualitas fundamental alam semesta: malam yang menutupi, siang yang menerangi, dan pasangan manusia (laki-laki dan perempuan). Dalam pandangan Islam, sumpah-sumpah kosmik ini diletakkan sebagai dasar untuk argumen utama yang disampaikan pada ayat ke-4: "Sesungguhnya usaha kamu itu sungguh bermacam-macam (syatta)."
Perbedaan siang dan malam mengajarkan bahwa keadaan manusia selalu berubah. Tidak ada fase kegelapan yang abadi, dan tidak ada periode terang yang permanen. Dalam konteks amal perbuatan, ini berarti bahwa cara manusia berusaha dan merespons seruan Allah sangatlah beragam. Ada yang bekerja keras dalam kebaikan, ada pula yang menyia-nyiakan waktu dan potensinya.
Ayat ke-4 berfungsi sebagai jembatan penentu nasib. Karena usaha manusia berbeda-beda, maka hasilnya pun pasti berbeda. Allah SWT menegaskan bahwa setiap tindakan, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi, akan mendapatkan balasan yang setara.
Setelah menegaskan adanya perbedaan usaha, Al-Lail melanjutkan dengan membagi manusia menjadi dua kategori utama berdasarkan respons mereka terhadap panggilan takwa (ayat 5-11).
Kategori pertama adalah mereka yang digambarkan sebagai pemberi (orang dermawan) dan orang yang bertakwa kepada Tuhannya. Kunci dari keberuntungan mereka adalah membenarkan konsep "Al-Husna," yaitu balasan terbaik yang dijanjikan Allah, yang sering diartikan sebagai Surga atau kebaikan tertinggi.
Respons positif ini—kemurahan hati (infak) digabungkan dengan kesadaran spiritual (takwa) dan keyakinan penuh pada janji akhirat—membuahkan janji ilahi: "Maka kelak Kami akan memudahkan baginya jalan kemudahan (Surga)" (Ayat 7). Ini adalah janji kemudahan dalam menjalani hidup di dunia dan kemudahan luar biasa saat menghadapi kematian dan hisab.
Sebaliknya, kategori kedua adalah mereka yang menunjukkan sifat kikir (bakhil) dan memiliki penyakit hati berupa isti’na (merasa diri sudah cukup dan tidak butuh pertolongan atau petunjuk Ilahi). Mereka adalah orang yang secara aktif mendustakan Al-Husna—yaitu menolak atau meragukan janji kebahagiaan abadi di akhirat.
Bagi kelompok ini, Allah berfirman: "Maka kelak Kami akan memudahkan baginya jalan yang sukar." Jalan yang sukar ini mencakup kesulitan dalam ketaatan, godaan yang tak henti-hentinya, dan kesulitan yang ekstrem saat menghadapi kematian dan pertanggungjawaban.
Ayat penutup dalam rentang ini (Ayat 11) memberikan pukulan telak terhadap materialisme: "Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa."
Kata taradda (binasa) di sini sangat kuat maknanya. Ia merujuk pada kondisi kebinasaan total, baik saat roh meninggalkan jasad, saat dimasukkan ke liang lahat, atau saat menghadapi siksa di Hari Kiamat. Pada momen kritis tersebut, semua kekayaan duniawi yang dikumpulkan, yang seringkali menjadi alasan seseorang enggan bersedekah atau berbuat baik, akan menjadi tidak bernilai sama sekali.
Oleh karena itu, QS Al-Lail ayat 1 hingga 11 mengajak umat manusia untuk berefleksi. Sumpah demi malam dan siang mengingatkan kita bahwa waktu terus berjalan, dan setiap detik yang kita lalui adalah kesempatan untuk memilih jalan mana yang akan kita tempuh: jalan kemudahan yang didasari kedermawanan dan takwa, atau jalan kesulitan yang dipicu oleh kekikiran dan pendustaan terhadap janji Allah.