Renungan Surat Al-Kahfi Ayat 35-40

Kekekalan versus kefanaan dunia

Pengantar Singkat

Surat Al-Kahfi, surat ke-18 dalam Al-Qur'an, penuh dengan pelajaran moral dan spiritual yang mendalam. Ayat 35 hingga 40 secara khusus menyajikan perbandingan tajam antara ilusi kekayaan dan kekuasaan duniawi dengan realitas abadi akhirat. Ayat-ayat ini merupakan teguran keras bagi mereka yang terbuai oleh gemerlap materi dan lupa akan tujuan hakiki penciptaan mereka.

Ayat-ayat ini berpusat pada dialog antara seorang mukmin yang sabar dengan temannya yang sombong, yang mengagungkan hartanya. Ini adalah cerminan universal tentang godaan duniawi yang senantiasa mengintai setiap insan.

Teks dan Terjemahan Ayat 35-40

Ayat 35

وَدَخَلَ جَنَّتَهُ وَهُوَ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِ قَالَ مَا أَظُنُّ أَن تَبِيدَ هَٰذِهِ أَبَدًا
"Dan dia (pemilik kebun itu) memasuki kebunnya, sedang ia (sendiri) berlaku zalim terhadap dirinya sendiri. Ia berkata: 'Aku tidak menyangka kebun ini akan binasa selamanya.'"

Ayat 36

وَمَا أَظُنُّ السَّاعَةَ قَائِمَةً وَلَئِن رُّدِدتُّ إِلَىٰ رَبِّي لَأَجِدَنَّ خَيْرًا مِّنْهَا مُنقَلَبًا
"Dan aku tidak menyangka hari kiamat itu akan datang. Dan seandainya aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapatkan tempat kembali yang lebih baik daripada kebun ini."

Ayat 37

قَالَ لَهُ صَاحِبُهُ وَهُوَ يُحَاوِرُهُ أَكَفَرْتَ بِالَّذِي خَلَقَكَ مِن تُرَابٍ ثُمَّ مِن نُّطْفَةٍ ثُمَّ سَوَّاكَ رَجُلًا
Berkata kawannya (yang beriman) kepadanya sambil berbincang-bincang dengannya: "Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna?"

Ayat 38

لَّٰكِنَّا هُوَ اللَّهُ رَبِّي وَلَا أُشْرِكُ بِرَبِّي أَحَدًا
"Tetapi aku (percaya bahwa) Dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan seorang pun dengan Tuhanku."

Ayat 39

وَلَوْلَا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاءَ اللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ ۚ إِن تَرَنِ أَنَا أَقَلَّ مِنكَ مَالًا وَوَلَدًا
"Dan mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu, 'Maa syaa Allah, laa quwwata illaa billah' (Inilah kehendak Allah, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Sekalipun kamu melihatku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan anak."

Ayat 40

فَعَسَىٰ رَبِّي أَن يُؤْتِيَنِ خَيْرًا مِّن جَنَّتِكَ وَيُرْسِلَ عَلَيْهَا حُسْبَانًا مِّنَ السَّمَاءِ فَتُصْبِحَ صَعِيدًا زَلَقًا
"Maka mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku (mempertahankan) kebunku ini dan Dia mengirimkan petir atas kebunmu, lalu kebun itu menjadi tanah yang licin (tandus)."

Kefanaan Dunia dan Kesombongan

Kisah pemilik kebun dalam ayat-ayat ini memberikan pelajaran mendasar: dunia adalah fatamorgana. Pria tersebut telah membangun kebanggaannya di atas hasil kerja kerasnya, harta benda, dan keturunan. Keinginannya untuk hidup abadi di dunia ini—"Aku tidak menyangka kebun ini akan binasa selamanya"—menunjukkan pengingkaran total terhadap konsep kematian dan Hari Kebangkitan.

Kesombongan ini semakin nyata ketika ia dengan congkak menyatakan bahwa seandainya ia kembali kepada Tuhannya, ia akan mendapatkan imbalan yang lebih baik. Sikap ini bukan pengakuan tauhid, melainkan pembenaran atas materialisme yang ia anut. Ia berasumsi bahwa kualitas akhiratnya bisa diukur dari kuantitas kekayaan duniawinya.

Kekuatan Iman Melalui Tawadhu (Kerendahan Hati)

Respons dari sahabatnya adalah inti dari ajaran Islam tentang bagaimana seharusnya memandang nikmat dunia. Sahabatnya tidak langsung mencela hartanya, melainkan mengingatkannya akan asal-usul segala sesuatu: dari tanah dan air mani. Pengingat ini bertujuan untuk menyingkirkan kesombongan dan menanamkan rasa syukur yang sejati.

Ayat 38 menegaskan keteguhan iman sahabat tersebut: "Dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan seorang pun dengan Tuhanku." Ini adalah penegasan tauhid yang murni, kontras dengan kesyirikan terselubung (yaitu menyandarkan segalanya pada usaha sendiri tanpa mengakui Allah sebagai sumber segala daya).

Pelajaran dari "Maa Syaa Allah, Laa Quwwata Illaa Billah"

Nasihat paling berharga termaktub dalam ayat 39: "Mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu, 'Maa syaa Allah, laa quwwata illaa billah'". Kalimat ini adalah kunci untuk menjaga hati agar tidak terjerumus pada ujub (rasa kagum pada diri sendiri) dan riya'.

Mengucapkan kalimat ini berarti:

  1. Pengakuan Kehendak Allah (Maa Syaa Allah): Segala yang terjadi, baik itu kebun yang subur maupun harta yang melimpah, semuanya terjadi atas kehendak dan izin-Nya.
  2. Penegasan Ketergantungan Penuh (Laa Quwwata Illaa Billah): Tidak ada kekuatan untuk mempertahankan, menumbuhkan, atau memelihara kekayaan itu kecuali kekuatan yang diberikan oleh Allah.

Sahabat itu melanjutkan, meskipun ia merasa lebih rendah dalam harta dan anak, keimanan dan ketawakalannya jauh lebih bernilai di sisi Allah.

Konsekuensi dari Kesombongan

Ayat 40 menutup episode ini dengan peringatan keras. Doa (atau harapan yang diungkapkan sebagai doa) sang sahabat adalah agar Allah mempertahankan nikmatnya pada dirinya dan menghancurkan kesombongan pemilik kebun. Hasilnya, kebun itu akan menjadi "tanah yang licin (tandus)," tempat yang tidak bisa berpijak atau menumbuhkan apa pun.

Ini adalah metafora visual untuk kehancuran total. Harta benda yang dibanggakan, yang dijadikan tandingan bagi kebenaran iman, akan lenyap dalam sekejap ketika Azab Allah datang. Kehidupan duniawi yang dibangun di atas kesombongan dan pengingkaran tidak memiliki pijakan yang kuat; ia akan roboh tak bersisa.

Oleh karena itu, ayat-ayat ini mengajak kita untuk senantiasa merenungkan hakikat kekuasaan dan kekayaan: semuanya titipan sementara yang harus dikelola dengan rasa syukur dan kerendahan hati, bukan dijadikan alasan untuk melupakan pertanggungjawaban akhirat.

🏠 Homepage