Kekekalan versus kefanaan dunia
Surat Al-Kahfi, surat ke-18 dalam Al-Qur'an, penuh dengan pelajaran moral dan spiritual yang mendalam. Ayat 35 hingga 40 secara khusus menyajikan perbandingan tajam antara ilusi kekayaan dan kekuasaan duniawi dengan realitas abadi akhirat. Ayat-ayat ini merupakan teguran keras bagi mereka yang terbuai oleh gemerlap materi dan lupa akan tujuan hakiki penciptaan mereka.
Ayat-ayat ini berpusat pada dialog antara seorang mukmin yang sabar dengan temannya yang sombong, yang mengagungkan hartanya. Ini adalah cerminan universal tentang godaan duniawi yang senantiasa mengintai setiap insan.
Kisah pemilik kebun dalam ayat-ayat ini memberikan pelajaran mendasar: dunia adalah fatamorgana. Pria tersebut telah membangun kebanggaannya di atas hasil kerja kerasnya, harta benda, dan keturunan. Keinginannya untuk hidup abadi di dunia ini—"Aku tidak menyangka kebun ini akan binasa selamanya"—menunjukkan pengingkaran total terhadap konsep kematian dan Hari Kebangkitan.
Kesombongan ini semakin nyata ketika ia dengan congkak menyatakan bahwa seandainya ia kembali kepada Tuhannya, ia akan mendapatkan imbalan yang lebih baik. Sikap ini bukan pengakuan tauhid, melainkan pembenaran atas materialisme yang ia anut. Ia berasumsi bahwa kualitas akhiratnya bisa diukur dari kuantitas kekayaan duniawinya.
Respons dari sahabatnya adalah inti dari ajaran Islam tentang bagaimana seharusnya memandang nikmat dunia. Sahabatnya tidak langsung mencela hartanya, melainkan mengingatkannya akan asal-usul segala sesuatu: dari tanah dan air mani. Pengingat ini bertujuan untuk menyingkirkan kesombongan dan menanamkan rasa syukur yang sejati.
Ayat 38 menegaskan keteguhan iman sahabat tersebut: "Dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan seorang pun dengan Tuhanku." Ini adalah penegasan tauhid yang murni, kontras dengan kesyirikan terselubung (yaitu menyandarkan segalanya pada usaha sendiri tanpa mengakui Allah sebagai sumber segala daya).
Nasihat paling berharga termaktub dalam ayat 39: "Mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu, 'Maa syaa Allah, laa quwwata illaa billah'". Kalimat ini adalah kunci untuk menjaga hati agar tidak terjerumus pada ujub (rasa kagum pada diri sendiri) dan riya'.
Mengucapkan kalimat ini berarti:
Sahabat itu melanjutkan, meskipun ia merasa lebih rendah dalam harta dan anak, keimanan dan ketawakalannya jauh lebih bernilai di sisi Allah.
Ayat 40 menutup episode ini dengan peringatan keras. Doa (atau harapan yang diungkapkan sebagai doa) sang sahabat adalah agar Allah mempertahankan nikmatnya pada dirinya dan menghancurkan kesombongan pemilik kebun. Hasilnya, kebun itu akan menjadi "tanah yang licin (tandus)," tempat yang tidak bisa berpijak atau menumbuhkan apa pun.
Ini adalah metafora visual untuk kehancuran total. Harta benda yang dibanggakan, yang dijadikan tandingan bagi kebenaran iman, akan lenyap dalam sekejap ketika Azab Allah datang. Kehidupan duniawi yang dibangun di atas kesombongan dan pengingkaran tidak memiliki pijakan yang kuat; ia akan roboh tak bersisa.
Oleh karena itu, ayat-ayat ini mengajak kita untuk senantiasa merenungkan hakikat kekuasaan dan kekayaan: semuanya titipan sementara yang harus dikelola dengan rasa syukur dan kerendahan hati, bukan dijadikan alasan untuk melupakan pertanggungjawaban akhirat.