Surat Al-Kahfi, surat ke-18 dalam Al-Qur'an, menyimpan banyak pelajaran penting, terutama mengenai ujian-ujian hidup seperti harta, ilmu, dan kekuasaan. Salah satu ayat kunci yang menyoroti bahaya ketergantungan pada duniawi adalah ayat ke-35. Ayat ini adalah pengingat tajam dari Allah SWT kepada hamba-Nya agar tidak terlena oleh kemewahan materi yang hanya bersifat sementara.
"Dan dia (orang yang kufur nikmat itu) mempunyai kekayaan (buah-buahan yang melimpah), lalu ia berkata kepada kawannya sedang ia berbincang-bincang dengannya: 'Hartaku lebih banyak daripadamu, dan (jumlah) pengikutku lebih perkasa.'"
Ayat 35 ini merupakan bagian dari kisah perumpamaan dua orang laki-laki yang Allah sebutkan dalam ayat-ayat sebelumnya. Satu orang beriman dan satunya lagi ingkar serta sombong karena limpahan hartanya. Ayat ini secara spesifik menyoroti puncak kesombongan orang yang kaya raya tersebut. Ia membandingkan dirinya dengan temannya yang beriman, menunjukkan bahwa pandangannya terhadap nilai sejati kehidupan sangatlah dangkal.
Kesombongan yang ditunjukkan bukan hanya karena memiliki harta yang banyak, tetapi juga karena menganggap kekuasaan sosial atau jumlah pengikut (kelompok/keluarga) sebagai tolok ukur keunggulan di hadapan Allah. Ia merasa superior karena faktor duniawi. Ia lupa bahwa semua itu adalah titipan yang bisa diambil kapan saja oleh Sang Pemilik Sejati.
Kisah ini mengajarkan kita untuk berhati-hati terhadap ujian kekayaan. Kekayaan, meskipun nikmat dari Allah, sering kali menjadi alat setan untuk menjauhkan pemiliknya dari rasa syukur dan ketakwaan. Orang kaya yang sombong dalam ayat ini gagal melihat bahwa kekayaan sejatinya adalah sarana untuk beribadah dan bersyukur, bukan tujuan hidup itu sendiri.
Ketika ia membanggakan 'pengikut yang lebih perkasa' (أَعَزُّ نَفَرًا), ia menunjukkan bahwa pertolongan dan keamanan yang ia rasakan hanya bergantung pada jumlah manusia di sekelilingnya, bukan pada perlindungan Allah SWT. Ini adalah bentuk syirik khafi (syirik tersembunyi), di mana hati lebih condong bergantung pada sebab duniawi daripada Pencipta sebab.
Kontras antara kedua teman ini sangat mencolok. Teman yang beriman selalu mengajak kepada kebaikan, mengingatkan bahwa kehidupan dunia ini hanya sebentar, sementara temannya yang kaya terus mengejar dunia hingga lupa akan akhirat. Ayat-ayat selanjutnya akan menjelaskan bagaimana balasan atas kesombongan ini, yaitu kehancuran total atas kebun dan hartanya.
Introspeksi mendalam yang harus kita ambil dari Surat Al-Kahfi ayat 35 adalah tentang perspektif kita terhadap harta. Apakah kita menganggap harta sebagai penentu kehormatan kita? Atau kita menganggapnya sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan? Jika kita melihat ayat ini sebagai peringatan, kita akan berusaha untuk selalu menjaga kerendahan hati, apapun limpahan rezeki yang kita miliki.
Bahkan, kekayaan materi yang melimpah tidak ada nilainya jika dibarengi dengan kekufuran dan kesombongan. Sebaliknya, sedikit harta yang disyukuri dan digunakan untuk ketaatan kepada Allah jauh lebih mulia di sisi-Nya. Ayat ini secara implisit mengajarkan pentingnya membandingkan diri dengan orang lain dalam hal amal kebajikan, bukan dalam hal kemewahan duniawi.
Ayat ini mengingatkan bahwa status sosial, jumlah harta, dan kekuatan pengikut adalah hal yang relatif dan sangat rentan. Semua itu bisa sirna dalam sekejap, sebagaimana akan digambarkan dalam kelanjutan kisah tersebut. Oleh karena itu, seorang mukmin sejati akan selalu mengaitkan segala nikmat yang ia terima dengan syukur, menyadari bahwa kekuatan sejati hanya datang dari Allah SWT, bukan dari jumlah aset atau pengikut yang ia miliki di dunia yang fana ini.