Ilustrasi pesan tentang kehidupan dan akhirat.
Surat Al-Kahfi (Gua) adalah salah satu surat yang sarat akan hikmah dan peringatan penting dalam Al-Qur'an. Di dalamnya terkandung empat kisah besar yang menjadi cermin bagi kehidupan manusia dalam menghadapi ujian dunia. Salah satu ayat yang sering menjadi fokus perenungan adalah ayat ke-36, yang secara gamblang menyinggung tentang pandangan manusia terhadap harta dan kehidupan duniawi.
Memahami pesan yang terkandung dalam surat Al Kahfi ayat 36 adalah kunci untuk menyeimbangkan orientasi hidup kita antara mencari keridhaan Allah dan memenuhi kebutuhan duniawi. Ayat ini seringkali mengingatkan kita bahwa segala sesuatu yang kita banggakan di dunia ini hanyalah sementara dan fana.
"Dan berilah mereka suatu perumpamaan, yaitu dua orang laki-laki, Kami jadikan bagi seorang di antara keduanya dua kebun dari buah-buahan dan Kami kelilingi keduanya dengan pohon-pohon kurma dan Kami jadikan di antara keduanya (pada kedua kebun itu) ladang-ladang." (QS. Al-Kahfi: 36)
Ayat ini memulai sebuah perumpamaan yang sangat kuat mengenai kesombongan dan ketergantungan berlebihan pada kekayaan materi. Allah SWT memilih kisah dua bersaudara untuk memberikan pelajaran mendalam. Salah satu saudara diberikan limpahan karunia berupa dua kebun anggur yang subur, dikelilingi pohon kurma yang menjanjikan hasil melimpah, serta ladang-ladang yang hijau.
Perumpamaan ini sangat relevan hingga hari ini. Di tengah masyarakat modern, seringkali kita melihat kesuksesan seseorang diukur dari seberapa banyak aset yang ia miliki—rumah megah, mobil mewah, atau rekening bank yang tebal. Ayat 36 ini secara halus mempersiapkan pendengar untuk kontras yang akan muncul di ayat-ayat berikutnya. Saudara yang bergelimang harta ini, dalam narasi selanjutnya, akan menunjukkan kesombongan dan ingkar terhadap nikmat Allah.
Inti dari peringatan ini adalah bahwa kemewahan material—seperti dua kebun yang digambarkan—bukanlah ukuran kebahagiaan sejati atau jaminan dari Allah. Kemakmuran yang dirasakan adalah ujian. Apakah kekayaan itu akan membuat pemiliknya semakin dekat kepada ketaatan, atau justru menjauhkannya karena rasa aman yang palsu? Ayat 36 ini berfungsi sebagai pemantik untuk kontemplasi: apa yang sedang kita upayakan di dunia ini? Apakah kita sedang fokus pada apa yang terlihat (kebun dan ladang), atau pada apa yang abadi (amal dan iman)?
Hikmah utama dari Surat Al Kahfi ayat 36 adalah bahaya melampirkan identitas dan nilai diri pada pencapaian duniawi. Ketika seseorang terlalu terikat pada harta, ia cenderung lupa bahwa sumber dari segala rezeki adalah Allah SWT semata. Keterikatan ini seringkali menimbulkan sifat kikir, sombong, dan meremehkan orang lain yang kurang beruntung.
Dalam konteks spiritual, harta yang melimpah bisa menjadi penghalang. Ini bukan berarti Islam melarang kekayaan, tetapi melarang menjadikan kekayaan sebagai tuhan kedua. Jika seseorang melihat kebunnya sebagai hasil jerih payahnya sendiri, tanpa mengakui campur tangan dan izin Allah, maka ia telah terperosok dalam kesesatan yang digambarkan dalam kisah ini.
Oleh karena itu, perenungan atas ayat ini mendorong kita untuk selalu bersikap tawadhu (rendah hati) ketika diberi kelimpahan, dan bersabar ketika diuji dengan kekurangan. Semua yang ada, dari anggur hingga kurma, adalah titipan yang bisa dicabut kapan saja. Kehidupan yang ideal adalah kehidupan yang menggunakan nikmat duniawi sebagai sarana untuk meraih nikmat akhirat yang kekal, bukan sebaliknya. Ayat-ayat setelah ayat 36 akan semakin memperjelas konsekuensi dari pandangan hidup yang terpusat pada materi semata.
Membaca dan merenungkan Surat Al Kahfi, khususnya ayat 36 ini, berfungsi sebagai pengingat reguler bahwa ujian terbesar seorang mukmin seringkali datang dalam bentuk kemudahan dan kelimpahan, bukan hanya dalam bentuk kesulitan. Kita diminta untuk selalu memposisikan dunia sebagai ladang amal, bukan sebagai tujuan akhir perjalanan kita.