Surat Al-Lail (Malam) adalah surat ke-92 dalam Al-Qur'an yang memberikan penegasan mendalam tentang perbedaan pilihan hidup manusia dan konsekuensi kekal dari setiap pilihan tersebut.
Surat Al-Lail dibuka dengan sumpah Allah SWT terhadap fenomena alam yang kontras: malam yang menutupi dan siang yang menampakkan diri. Sumpah ini digunakan untuk menekankan kebenaran pokok ajaran yang akan disampaikan, yaitu bahwa usaha dan jalan hidup manusia sangatlah beragam (lakum dinukum waliya din).
Inti dari 11 ayat pertama adalah pemisahan tajam antara dua tipe manusia berdasarkan respons mereka terhadap nikmat dan perintah Allah.
Tipe Pertama: Dermawan dan Bertakwa (Ayat 5-7). Orang yang menginfakkan harta miliknya, bukan karena riya’ atau mencari pujian, tetapi karena dilandasi ketakwaan kepada Allah. Mereka juga membenarkan janji kebaikan tertinggi (surga) yang dibawa oleh Rasul. Bagi mereka, janji Allah adalah kemudahan dalam hidup (dunia) maupun akhirat. Ini adalah jalan kemudahan (yusrā).
Tipe Kedua: Kikir dan Merasa Cukup (Ayat 8-11). Lawannya adalah orang yang kikir (enggan bersedekah) dan merasa dirinya sudah cukup kaya atau mulia tanpa perlu Allah (istaghnā). Mereka mendustakan balasan yang lebih baik. Konsekuensinya, Allah akan memudahkan mereka pada jalan yang sulit (usrā), yaitu jalan menuju kesulitan dunia dan azab neraka. Harta yang selama ini ia kumpulkan tidak akan berguna sedikit pun ketika kematian tiba dan ia menghadapi kebinasaan.
Setelah menjelaskan kontras amal, Allah menegaskan otoritas-Nya. Allah menegaskan bahwa Dia-lah yang bertanggung jawab memberikan petunjuk lurus (Ayat 12), dan kepemilikan mutlak atas dunia dan akhirat ada di tangan-Nya (Ayat 13). Penegasan ini menguatkan bahwa pertanggungjawaban amal manusia akan benar-benar terjadi. Setelah peringatan tentang jalan yang mudah dan sulit, Allah kemudian mengancam dengan neraka yang berkobar-kobar (Ayat 14).
Ayat-ayat penutup ini memfokuskan pada konsekuensi akhir bagi dua ekstrem tersebut.
Neraka itu khusus diperuntukkan bagi Al-Ashqa (orang yang paling celaka), yaitu mereka yang secara aktif mendustakan kebenaran (tauhid) dan berpaling dari ketaatan.
Sebaliknya, Al-Atqa (orang yang paling bertakwa) akan dijauhkan dari api neraka tersebut. Motivasi ketakwaan ini diuraikan lebih lanjut: infak mereka adalah murni untuk mensucikan jiwa (bukan pamer), dan mereka tidak mengharapkan balasan apapun dari manusia. Infak mereka murni dilakukan semata-mata mencari keridhaan Allah Yang Maha Tinggi. Puncak janji kebahagiaan bagi orang ini adalah janji langsung dari Allah sendiri: Mereka pasti akan diridai (Ayat 21). Keridhaan Allah ini adalah puncak kenikmatan tertinggi di akhirat, melebihi segala bentuk kenikmatan duniawi.
Al-Lail mengajarkan kita bahwa nilai sejati seseorang tidak terletak pada apa yang ia kumpulkan, melainkan pada bagaimana ia menggunakan karunia yang telah Allah berikan untuk meraih keridhaan-Nya.