Ilustrasi pemahaman ayat-ayat penutup Al-Kahfi
Surat Al-Kahfi, yang seringkali dibaca pada hari Jumat, adalah surat yang penuh dengan pelajaran tentang keimanan, ujian hidup, dan pentingnya ketergantungan total kepada Allah SWT. Setelah kisah-kisah inspiratif mengenai Ashabul Kahfi, Musa dan Khidir, serta Dzulkarnain, surat ini ditutup dengan penegasan fundamental mengenai hakikat penciptaan dan fungsi kehidupan manusia di dunia. Ayat 110 hingga 120 menjadi penutup yang menguatkan prinsip tauhid dan memberi peringatan keras bagi mereka yang lalai.
Ayat 110 ini adalah penegasan otentikasi kenabian sekaligus penegasan tauhid. Nabi Muhammad SAW diperintahkan untuk menyatakan bahwa beliau hanyalah manusia biasa, tidak memiliki keistimewaan ketuhanan, namun memiliki kemuliaan karena menerima wahyu. Inti pesan ini adalah: fokuslah pada keesaan Allah (Tauhid Rububiyyah dan Uluhiyyah). Konsekuensi logis dari keimanan ini adalah amal saleh tanpa sedikit pun unsur kesyirikan. Ini adalah fondasi dari seluruh ajaran Islam: membersihkan ibadah hanya untuk Allah semata. Tujuan akhir seorang mukmin adalah meraih keridhaan-Nya saat berjumpa kelak.
Penting untuk dicatat bahwa penekanan pada amal saleh bukan sebagai penyeimbang rahmat Allah, melainkan sebagai manifestasi kecintaan dan ketaatan terhadap-Nya. Amal saleh yang dimaksud adalah amal yang dilakukan dengan niat ikhlas (murni karena Allah) dan sesuai dengan tuntunan syariat.
Setelah menekankan pentingnya amal, Al-Qur'an memberikan kontras tajam antara kehidupan dunia yang fana dan kehidupan akhirat yang kekal.
Allah SWT menegaskan bahwa Al-Qur'an telah memuat berbagai perumpamaan dan penjelasan rinci agar manusia mudah memahami kebenaran. Namun, ironisnya, mayoritas manusia justru memilih untuk menolak dan mengingkari kebenaran tersebut. Ini adalah kritik keras terhadap sikap keras kepala dan penolakan yang datang bukan karena ketidakmampuan memahami, melainkan karena kesombongan dan kecintaan berlebihan pada dunia.
Ayat-ayat berikutnya semakin memperjelas konsekuensi penolakan tersebut:
Ayat 112 menyoroti bahaya terbesar dalam beramal: kesia-siaan amal karena cacatnya landasan, yaitu kesyirikan atau niat yang tidak lurus. Seseorang mungkin giat beribadah atau berbuat baik, namun jika landasannya tidak tauhid, maka seluruh usahanya menjadi hampa di sisi Allah. Mereka merasa sudah berbuat yang terbaik, padahal standar terbaik menurut Allah adalah ikhlas.
Menjelang penutup, Allah SWT mengingatkan kembali tentang keagungan dan keabadian-Nya, serta kefanaan segala sesuatu selain Dia.
Walaupun ayat ini secara teknis adalah ayat penutup Surat Adz-Dzaariyat, semangatnya sangat kental terasa dalam penutup Al-Kahfi: tujuan penciptaan adalah ibadah. Dalam konteks ayat 113 dan seterusnya, Allah menegaskan bahwa janji-Nya pasti benar, dan dunia ini hanyalah perhiasan sementara yang akan lenyap.
Inti dari penutup Al-Kahfi (ayat 110-120) adalah panggilan untuk melakukan introspeksi radikal. Setelah disajikan kisah-kisah yang menunjukkan bahaya kesombongan (Firaun, Namrudz), bahaya ketidakmampuan (kisah Musa dan Khidir), dan bahaya kekuasaan tanpa batas (Dzulkarnain), umat manusia diperingatkan: persiapkan bekal untuk hari perjumpaan dengan Tuhan. Bekal itu adalah tauhid murni dan amal saleh yang ikhlas. Hidup di dunia ini terbatas; oleh karena itu, fokuslah pada hal yang kekal. Jangan pernah tertipu oleh kefanaan materi atau anggapan palsu bahwa perbuatan buruk yang dilakukan secara tersembunyi akan luput dari pengawasan Sang Pencipta. Inilah warisan terpenting dari Surat Al-Kahfi.