"Dan kamu memiliki harta yang banyak."
Ayat 34 dari Surah Al-Kahfi merupakan bagian penting dari dialog antara pemilik dua kebun (pemilik kekayaan duniawi) dan temannya yang beriman. Ayat ini secara eksplisit memuji atau mengakui keberadaan kekayaan materi yang dimiliki oleh orang yang sombong tersebut. Untuk memahami kedalaman maknanya, kita perlu melihat konteks keseluruhan kisah ini, yang Allah SWT abadikan sebagai pelajaran bagi umat manusia.
Kisah ini menceritakan dua orang pria. Satu orang dianugerahi dengan kebun-kebun yang subur, buah-buahan yang melimpah, dan segala fasilitas duniawi. Sementara itu, temannya adalah seorang mukmin yang sederhana. Sang pemilik kebun yang kaya raya, karena kesombongan dan kekufurannya, meremehkan temannya dan meragukan hari kebangkitan (akhirat).
Ayat 34, "وَلَكَ مَالٌ كَثِيرٌ" (Dan kamu memiliki harta yang banyak), adalah respons sang teman kepada pemilik kebun. Respons ini bukanlah bentuk pujian yang membenarkan kesombongan, melainkan sebuah pengakuan fakta yang netral sebelum memberikan peringatan penting. Pengakuan ini menunjukkan kedewasaan berdialog dari sang teman yang beriman. Ia tidak menyangkal kekayaan fisik yang dimiliki saudaranya, karena memang itulah yang terlihat oleh mata.
Inti pelajaran dari ayat ini terletak pada kontras yang diciptakan oleh ayat-ayat berikutnya. Setelah mengakui kekayaan duniawi tersebut, sang teman segera melanjutkan nasihatnya dengan mengatakan bahwa nilai harta tersebut di hadapan Allah jauh lebih kecil dibandingkan dengan amal saleh yang dilakukan demi mengharapkan keridhaan-Nya.
Ayat ini mengajarkan bahwa pengakuan atas nikmat duniawi tidak otomatis berarti kesalehan. Harta yang banyak bisa menjadi ujian, bukan jaminan kebahagiaan sejati atau keselamatan di akhirat. Bagi seorang mukmin, kekayaan duniawi hanyalah sarana, bukan tujuan. Nilai sebuah kekayaan diukur dari bagaimana ia digunakan: apakah untuk mendekatkan diri kepada Allah (sedekah, menolong sesama) atau justru untuk melalaikan dan menyombongkan diri.
Surah Al-Kahfi secara keseluruhan membahas empat fitnah besar: fitnah harta, fitnah ilmu/hikmah (kisah Nabi Musa dan Khidir), fitnah kekuasaan (kisah Zulkarnain), dan fitnah hawa nafsu (pemilik kebun). Ayat 34 secara spesifik berfokus pada godaan harta.
Ketika kita melihat harta yang banyak, pesan yang tersirat adalah bahwa harta tersebut akan sirna. Sebaliknya, ganjaran dari amal saleh yang dilandasi keimanan kepada Allah akan kekal abadi di surga. Teman yang beriman itu mengingatkan, "Harta yang kamu miliki itu hanyalah bersifat sementara dan fana. Kekayaan sejati adalah yang dibawa menuju keabadian."
Oleh karena itu, seorang Muslim dituntut untuk memiliki perspektif yang seimbang. Bekerja keras mencari rezeki dan menikmati karunia duniawi diperbolehkan dan bahkan dianjurkan selama tidak melampaui batas dan tidak menjadikannya prioritas utama melebihi hubungan dengan Sang Pencipta. Harta harus menjadi pelayan, bukan tuan.
Di era materialisme saat ini, di mana ukuran kesuksesan sering kali diukur dari kepemilikan harta benda, Surah Al-Kahfi Ayat 34 berfungsi sebagai pengingat keras. Ketika kita merasa memiliki "harta yang banyak" (baik itu uang, jabatan, atau popularitas), ayat ini menanyakan: Sudahkah Anda membandingkan nilai harta tersebut dengan pahala amal jariyah atau ketakwaan yang Anda miliki?
Pengakuan yang tenang dari teman yang saleh tersebut menunjukkan bahwa kekayaan itu sendiri bukanlah dosa, melainkan cara pandang terhadapnya yang menentukan nasib akhir. Jika harta membuat seseorang lupa akan ibadah dan meremehkan sesama, maka harta tersebut telah menjadi jurang pemisah antara dirinya dan rahmat Allah SWT. Sebaliknya, jika digunakan untuk membangun kehidupan yang diridhai-Nya, maka harta itu adalah nikmat yang patut disyukuri dan menjadi penolong di hari perhitungan.