Ilustrasi Kontras Kenikmatan Dunia dan Akhirat
Ayat ke-38 dari Surah Al-Kahfi ini merupakan bagian penting dari dialog panjang antara dua orang lelaki yang disebutkan dalam ayat-ayat sebelumnya. Salah satu dari mereka adalah pemilik kebun yang sombong dan menolak konsep kebangkitan (hari kiamat), sementara yang lain adalah seorang mukmin yang mengingatkannya akan kebesaran Allah dan kefanaan dunia. Ayat 38 ini muncul sebagai puncak perdebatan filosofis antara keduanya mengenai hakikat kehidupan setelah kematian.
Dialog ini menggarisbawahi pentingnya kerendahan hati dan pengakuan terhadap keterbatasan pengetahuan manusiawi. Ketika pemilik kebun yang angkuh itu berbicara tentang kekal dan kayanya hartanya di dunia, mukmin tadi merespons dengan pengakuan kebenaran yang lebih mendasar: bahwa baik ia maupun temannya (pemilik kebun) hanya bersandar pada dugaan atau keyakinan mereka. Salah satu pihak pasti benar (berada di atas petunjuk), dan pihak lainnya pasti keliru (berada dalam kesesatan yang nyata).
Inti dari ayat ini adalah penyerahan otoritas kebenaran mutlak kepada Allah SWT. Dalam perdebatan manusia mengenai hal-hal metafisik—seperti kehidupan setelah mati, keesaan Tuhan, dan konsekuensi amal perbuatan—sulit untuk dibuktikan dengan logika indrawi semata. Oleh karena itu, mukmin tersebut tidak memaksakan pendapatnya sebagai kepastian absolut bagi lawannya, melainkan menyatakan fakta teologis: ada dua kemungkinan posisi, petunjuk (Huda) atau kesesatan (Dhalal Mubin).
Petunjuk (Hudā): Posisi ini diasumsikan oleh orang yang beriman kepada Allah, mengakui hari kiamat, dan menyadari bahwa segala kenikmatan dunia hanyalah titipan yang akan berakhir. Ia beramal berdasarkan tuntunan wahyu.
Kesesatan Nyata (Ḍalālin Mubīn): Posisi ini dipegang oleh mereka yang mengingkari kebangkitan, menganggap harta dunia sebagai kepemilikan abadi, dan melampaui batas (taghut) dalam kesombongannya. Kesesatan mereka terang benderang karena menolak bukti-bukti alam semesta yang justru menunjukkan adanya Pencipta Yang Maha Kuasa.
Ayat ini mengajarkan kepada kita sikap dalam berdakwah atau berdebat tentang keyakinan. Ketika berhadapan dengan orang yang mengingkari dasar-dasar iman, kita diminta untuk menyampaikan kebenaran dengan bijak, namun tetap menyadari bahwa keputusan akhir dan penentuan mana yang benar mutlak berada di tangan Allah. Pemilik kebun terlalu fokus pada "apa yang kulihat" (kebunnya yang subur), sementara temannya fokus pada "siapa yang mencipta" (Allah).
Surah Al-Kahfi secara keseluruhan adalah panduan untuk menghadapi empat fitnah terbesar dalam hidup: Fitnah Dunia (Harta dan Kemewahan, seperti yang tercermin dalam dialog ayat 32-44), Fitnah Agama (termasuk ajaran yang menyesatkan), Fitnah Nafsu (syahwat), dan Fitnah Kematian (tidak mempersiapkan diri). Ayat 38 ini secara spesifik menguatkan pesan tentang Fitnah Dunia.
Orang yang tertipu oleh kenikmatan dunia akan cenderung menolak kebenaran akhirat karena hal itu mengancam pijakan dunianya yang ia anggap kekal. Ia beranggapan, "Jika saya harus mati dan semua ini (kebunku) akan hilang, untuk apa saya percaya pada sesuatu yang tidak terlihat?" Sebaliknya, orang yang sadar akan petunjuk akan melihat kekayaan dunia sebagai sarana untuk meraih keridhaan Allah, bukan tujuan akhir. Ia memahami bahwa kekal abadi jauh lebih berharga daripada kenikmatan sesaat.
Pelajaran terpenting adalah introspeksi diri: Di posisi manakah kita saat ini? Apakah kita bersandar pada harta dan kekuatan kita (merasa seperti pemilik kebun yang sombong), ataukah kita mencari kebenaran sejati yang dibawa oleh wahyu (posisi mukmin yang merendah)? Hanya dengan membedakan antara yang fana dan yang kekal, kita bisa memastikan langkah kita berada di jalur petunjuk Allah, bukan kesesatan yang nyata.