Surat Al-Kahf, yang berarti "Gua," adalah salah satu surat terpenting dalam Al-Qur'an karena mengandung empat kisah besar yang menjadi pelajaran utama bagi umat manusia. Di antara ayat-ayat pembukanya yang sarat hikmah, ayat kelima (Al-Kahf ayat 5) memegang peranan krusial dalam memberikan peringatan keras mengenai konsekuensi dari berpaling dari wahyu Ilahi.
Ayat kelima ini harus dipahami dalam konteks ayat-ayat sebelumnya. Surat Al-Kahf dimulai dengan pujian kepada Allah yang telah menurunkan Al-Qur'an sebagai petunjuk (huda) tanpa sedikitpun kebengkokan (ayat 1-3). Ayat keempat kemudian menjanjikan balasan yang indah bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Setelah menegaskan janji indah tersebut, ayat kelima datang sebagai penegasan fungsi peringatan (indhar) dari kitab suci ini.
Pesan utama yang diangkat dalam ayat 5 adalah peringatan keras terhadap keyakinan yang sangat mendasar dan berbahaya, yaitu anggapan bahwa Allah SWT memiliki anak. Dalam terminologi tauhid, ini adalah bentuk kekufuran paling ekstrem yang merusak konsep keesaan Allah (tauhid rububiyyah dan uluhiyyah).
Keyakinan bahwa Allah memiliki keturunan, baik dalam bentuk anak, pasangan, atau sekutu, adalah klaim yang dibantah tegas oleh seluruh ajaran nabi dan rasul. Dalam Al-Qur'an, penekanan terhadap keesaan Allah sangatlah fundamental. Mengatributkan sifat makhluk (seperti melahirkan atau memiliki keturunan) kepada Sang Pencipta adalah bentuk penyerupaan (tasybih) yang paling hina.
Mengapa hal ini menjadi fokus peringatan? Karena pandangan ini berimplikasi pada runtuhnya seluruh kerangka teologis. Jika Allah memiliki anak, maka ada entitas lain yang setara atau memiliki hubungan darah dengannya, yang otomatis mengurangi kesempurnaan, kemandirian, dan kemahakuasaan-Nya yang mutlak. Ini adalah tuduhan besar yang pelakunya—menurut ayat berikutnya (Al-Kahf ayat 6)—akan mengalami kesedihan dan penyesalan yang mendalam.
Meskipun konteks historis ayat ini mungkin merujuk pada pandangan tertentu pada masa kerasulan, pelajaran universalnya tetap relevan hingga kini. Peringatan ini mengajarkan kita untuk selalu menjaga kemurnian aqidah.
Dalam konteks yang lebih luas, peringatan ini juga bisa dipahami sebagai larangan untuk mengagungkan atau meyakini secara mutlak ideologi, filsafat, atau bahkan figur manusia hingga pada tingkat yang menyekutukan Allah. Jika seseorang menganggap pemikiran atau idola tertentu setara dengan kebenaran mutlak yang tidak boleh dikritik atau ditentang, selama itu bertentangan dengan wahyu, maka ia telah menempatkan sesuatu sebagai "anak" Allah dalam kapasitas spiritualnya.
Allah menurunkan ayat ini sebagai bentuk kasih sayang-Nya. Peringatan diberikan sebelum azab ditimpakan. Ayat-ayat selanjutnya menjelaskan bahwa keyakinan seperti ini membawa kebinasaan spiritual yang besar. Orang-orang yang memegang teguh keyakinan sesat ini akan sangat menyia-nyiakan waktu hidup mereka di dunia untuk mencari kebahagiaan melalui jalan yang salah.
Mereka disibukkan dengan perkataan batil dan kesenangan duniawi yang fana, padahal mereka seharusnya mempersiapkan diri untuk pertemuan dengan Rabb mereka. Akibatnya adalah kerugian total di akhirat. Mereka akan mendapati bahwa seluruh ambisi dan keyakinan mereka ternyata dibangun di atas fondasi yang rapuh, yang dihancurkan oleh kebenaran wahyu Ilahi.
Surat Al-Kahf ayat 5 adalah pengingat kuat bahwa Al-Qur'an berfungsi sebagai pembeda (Furqan) antara kebenaran dan kebatilan. Tugas kita sebagai umat beriman adalah menerima petunjuk ini dengan hati terbuka, menjaga tauhid kita dari segala bentuk penyimpangan, baik yang eksplisit maupun implisit, agar kita termasuk dalam golongan yang dijanjikan balasan terbaik di ayat-ayat sebelumnya, bukan golongan yang diperingatkan dalam ayat kelima ini. Pemahaman yang mendalam terhadap ayat ini adalah kunci untuk menjaga kemurnian ibadah dan keyakinan kita.
Artikel ini disusun berdasarkan pemahaman umum terhadap tafsir Surat Al-Kahf ayat 5.