Surat Al-Kahfi, surat ke-18 dalam Al-Qur'an, adalah salah satu surat yang sangat dianjurkan untuk dibaca, terutama pada hari Jumat. Di dalamnya terkandung banyak kisah inspiratif dan pelajaran penting mengenai iman, ujian, dan kekuasaan Allah SWT. Fokus kita kali ini adalah pada bagian akhir kisah Nabi Musa AS bersama Khidir, yaitu pada Surat Al-Kahfi ayat 81 sampai 100. Bagian ini penuh dengan kebijaksanaan tentang takdir dan ilmu Allah yang melampaui pemahaman manusia.
Ilustrasi Hikmah dan Ilmu
Setelah berbagai peristiwa luar biasa yang disaksikan oleh Nabi Musa AS, termasuk perbaikan kapal, pembunuhan anak laki-laki, dan pembangunan kembali dinding yang hampir roboh, tibalah saat perpisahan. Ayat-ayat ini merangkum pelajaran penting mengenai tujuan tindakan Khidir. Khidir menjelaskan bahwa tindakannya yang tampak keliru (seperti merusak kapal, membunuh anak, dan memperbaiki dinding) sejatinya adalah atas izin dan kehendak Allah SWT untuk menjaga kemaslahatan yang lebih besar.
Ayat 81 berbunyi: "Adapun perahu itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut; dan aku bermaksud (merusaknya), karena di hadapan mereka ada seorang raja yang akan merampas setiap perahu (yang baik) dengan paksa."
Ini mengajarkan kita bahwa terkadang, apa yang terlihat sebagai kerugian di permukaan, sebenarnya adalah perlindungan ilahi dari bahaya yang lebih besar di masa depan. Pemahaman manusia seringkali terbatas pada apa yang tampak oleh mata saat ini.
Bagian selanjutnya dari Surat Al-Kahfi ayat 81-100 membahas tentang orang yang memiliki harta dan kekuasaan namun enggan beriman, serta perbandingan dengan kaum yang kurang mampu. Ayat-ayat ini menegaskan bahwa harta benda duniawi dan kedudukan sosial bukanlah tolok ukur kemuliaan di sisi Allah.
Khidir kemudian memberikan nasihat kepada Musa tentang seorang pria yang memiliki kebun anggur yang kemudian dihancurkan Allah sebagai hukuman atas kesombongan pemiliknya yang menolak bersyukur dan menyebut Allah saat memandang kebunnya.
“Dan seandainya mereka tidak menduga bahwa pertemuan dengan Tuhan mereka dan kepada-Nya mereka akan dikembalikan (pasti mereka akan berbuat aniaya).” (QS. Al-Kahfi: 94)
Ayat-ayat ini menyoroti bahaya kesombongan dan melupakan akhirat. Kemampuan untuk mengingat Allah dalam setiap keadaan, baik dalam kelimpahan maupun kekurangan, adalah ciri orang yang beriman sejati.
Memasuki ayat-ayat menuju penutup, diceritakan kisah Dzulqarnain, seorang penguasa yang saleh yang berkeliling dunia dan membangun penghalang kuat untuk melindungi kaum yang lemah dari gangguan Ya'juj dan Ma'juj.
(Qāla hādhā raḥmatum min rabbī fa’idhā jā’a wa‘du rabbī ja‘alahū dakkā’a, wa kāna wa‘du rabbī ḥaqqā)
Dia (Dzulqarnain) berkata: “Ini adalah rahmat dari Tuhanku, tetapi apabila sudah tiba janji Tuhanku, Dia akan menghancurkannya; dan janji Tuhanku itu adalah benar.” (QS. Al-Kahfi: 98)
Kisah Dzulqarnain ini menunjukkan bahwa kekuasaan, jika digunakan dengan benar dan didasari ketakwaan, dapat menjadi rahmat bagi umat manusia. Namun, yang paling penting adalah kesadaran bahwa segala kekuatan dan pencapaian adalah sementara; hanya janji Allah yang kekal dan pasti terlaksana.
Ayat terakhir dalam rentang ini menegaskan bahwa hari kiamat pasti datang. Dunia ini adalah persinggahan sementara. Mereka yang telah tertipu oleh perhiasan dunia akan menyesal, sementara amal baik akan menjadi penentu nasib akhirat. Pembahasan Surat Al-Kahfi 81 100 ini berfungsi sebagai penutup kisah yang mengingatkan pembaca untuk senantiasa mempersiapkan diri.
Inti dari bagian ini adalah keseimbangan antara amal saleh saat memiliki kekuatan dan kesabaran saat menghadapi ujian. Ilmu yang diberikan Allah, seperti yang dialami Musa bersama Khidir, seringkali berada di luar logika manusia biasa, menuntut keyakinan total kepada kebijaksanaan Ilahi.