Surat Al-Kahfi (gua) adalah salah satu surat yang kaya akan pelajaran moral, spiritual, dan filosofis dalam Al-Qur'an. Di antara kisah-kisah menakjubkan di dalamnya, kisah pertemuan antara Nabi Musa AS dengan hamba Allah yang saleh, yang sering disebut sebagai Khidir, menempati posisi istimewa. Kisah ini dimulai dari permintaan Musa untuk menuntut ilmu kepadanya dan berlanjut hingga ayat 82, yang menyajikan tiga peristiwa krusial yang penuh misteri dan pelajaran mendalam mengenai ketetapan dan kebijaksanaan Allah SWT.
Ayat 79 hingga 82 dari Surat Al-Kahfi memberikan kita jendela untuk memahami bahwa ilmu manusia sangat terbatas dibandingkan dengan ilmu Ilahi. Ketiga peristiwa tersebut—merusak perahu, membunuh seorang anak, dan memperbaiki dinding reot—semuanya memiliki logika tersembunyi yang hanya terungkap setelah Khidir menjelaskannya.
"Adapun perahu, ia adalah milik orang-orang miskin yang bekerja di laut; dan aku bermaksud hendak merusaknya, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas setiap perahu (yang baik) secara paksa." (QS. Al-Kahfi: 79)
Peristiwa pertama yang membuat Nabi Musa sangat terkejut adalah ketika Khidir melubangi perahu penumpang. Tindakan ini, sekilas pandang, tampak sebagai tindakan destruktif terhadap orang-orang yang telah memberikan tumpangan secara cuma-cuma. Namun, di balik tindakan itu tersimpan hikmah penyelamatan. Khidir melihat seorang raja zalim yang selalu mengambil paksa kapal yang baik. Dengan membuat perahu itu tampak rusak, kapal tersebut luput dari rampasan raja, sehingga menyelamatkan aset orang miskin tersebut.
Pelajaran di sini sangat jelas: jangan terburu-buru menghakimi suatu perbuatan hanya berdasarkan penampilan lahiriahnya. Apa yang tampak buruk di awal mungkin merupakan pintu gerbang menuju kebaikan yang lebih besar dan perlindungan dari bahaya yang tersembunyi. Ini mengajarkan kita untuk bersabar dan percaya pada kerangka waktu dan rencana Allah.
"Adapun anak itu, maka kedua orang tuanya adalah orang-orang yang beriman, dan kami khawatir bahwa dia akan membebani kedua orang tuanya itu dengan kedurhakaan dan kekafiran." (QS. Al-Kahfi: 80)
Peristiwa kedua adalah yang paling mengguncang keimanan Musa, yaitu pembunuhan seorang anak. Musa benar-benar tidak bisa menerima tindakan ini, menganggapnya sebagai dosa besar yang tidak dapat diampuni. Khidir kemudian menjelaskan bahwa anak tersebut ditakdirkan menjadi sumber kesengsaraan dan kekufuran bagi orang tuanya yang beriman.
Allah mengganti anak tersebut dengan seorang anak lain yang lebih baik, baik dari segi ketakwaan maupun kasih sayang kepada orang tuanya. Dalam pandangan manusia, kehilangan seorang anak adalah musibah; namun dalam pandangan Ilahi, kematian yang datang pada waktu yang tepat bisa jadi merupakan rahmat yang mencegah bencana spiritual yang lebih besar di masa depan. Hikmah ini menunjukkan betapa luasnya kasih sayang Allah, bahkan melalui ujian yang terasa paling menyakitkan sekalipun.
"Maka kami menghendaki bahwa Tuhan mereka menggantinya dengan yang lebih baik daripadanya dalam kesucian dan lebih dekat hubungannya (dengan orang tua). Adapun dinding itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta terpendam milik mereka berdua, dan ayahnya adalah seorang yang saleh. Maka Tuhanmu menghendaki agar mereka berdua sampai waktu dewasa dan mengeluarkan simpanan mereka sebagai rahmat dari Tuhanmu. Dan aku sekali-kali tidak melakukannya atas kehendakku sendiri. Itulah makna dari apa yang kamu tidak dapat bersabar atasnya." (QS. Al-Kahfi: 81-82)
Peristiwa terakhir adalah perbaikan dinding yang hampir roboh. Di bawah dinding itu tersimpan harta karun milik dua anak yatim piatu yang ayahnya adalah orang saleh. Khidir tahu bahwa jika dinding itu dibiarkan roboh, harta tersebut akan diambil oleh orang lain. Dengan memperbaikinya, ia memastikan bahwa harta itu aman sampai sang yatim mencapai usia dewasa untuk mengambil warisannya.
Ayat 82 ditutup dengan penegasan bahwa semua tindakan yang dilakukan Khidir adalah atas perintah langsung dari Allah (ta'wil). Ini adalah titik puncak pelajaran: Nabi Musa, seorang nabi besar, masih harus menahan diri dari menghakimi ketika ia tidak memiliki pengetahuan penuh tentang rahasia Ilahi. Surat Al-Kahfi ayat 79-82 mengajak kita untuk merenungkan keterbatasan pandangan manusiawi dan menerima bahwa di balik setiap kejadian, bahkan yang tampak penuh kesulitan, terdapat kebijaksanaan dan rahmat Allah yang Maha Luas.