Menggali Hikmah dari Surat Al-Kahfi Ayat 80-90: Perjalanan Nabi Musa dan Khidr

Musa Khidr ? Perjalanan Ilmu

Visualisasi perjalanan Nabi Musa mencari ilmu bersama Khidr.

Surat Al-Kahfi adalah salah satu surat yang kaya akan kisah-kisah teladan bagi umat Islam. Di antara ayat-ayatnya yang paling memukau adalah rentang ayat 80 hingga 90, yang menceritakan kelanjutan dialog dan perjalanan edukatif antara Nabi Musa AS dengan hamba Allah yang memiliki ilmu ladunni (ilmu dari sisi Allah), yang dikenal sebagai Khidr.

Ayat-ayat ini memberikan pelajaran fundamental tentang batas pengetahuan manusia dan pentingnya kesabaran dalam menghadapi hal-hal yang di luar nalar kita.

Konteks Ayat 80-90: Kisah Pembunuhan Anak (Ayat 80)

Ayat 80 dari Surat Al-Kahfi menandai titik kritis dalam perjalanan mereka setelah mereka mencapai sebuah desa dan meminta makanan, namun ditolak. Di sini, Khidr melakukan tindakan yang sangat mengejutkan dan sulit diterima oleh akal Nabi Musa:

"Adapun anak itu, maka kedua orang tuanya adalah orang-orang yang beriman, dan kami khawatir bahwa ia akan membebani kedua orang tuanya (dengan durhaka dan kekafiran)."

(QS. Al-Kahfi: 80)

Tindakan Khidr yang membunuh seorang anak laki-laki yang tampaknya tidak bersalah ini memicu protes keras dari Nabi Musa. Musa menganggap tindakan tersebut sebagai dosa besar dan tidak bisa dibenarkan, menunjukkan bahwa ilmu kasat mata (ilmu yang diterima Musa) memiliki batasan ketika berhadapan dengan ilmu ilahi yang tersembunyi.

Permintaan Sabar dan Batasan Ilmu (Ayat 81-82)

Khidr kemudian mengingatkan Musa akan janjinya untuk bersabar. Ini adalah pengingat penting bagi siapapun yang menuntut ilmu atau berada di bawah bimbingan seorang guru spiritual: kesabaran adalah kunci utama.

"Adapun perahu, maka perahu itu adalah milik orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bermaksud merusaknya, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas setiap perahu dengan paksa."

(QS. Al-Kahfi: 81)

Tindakan kedua Khidr adalah merusak perahu. Bagi Musa, ini tampak seperti kerusakan properti tanpa alasan yang jelas. Namun, Khidr menjelaskan bahwa tindakan "merusak" tersebut sebenarnya adalah upaya penyelamatan jangka panjang dari rampasan raja tiran. Ini mengajarkan bahwa apa yang tampak sebagai kemudaratan di awal, bisa jadi merupakan pintu bagi kebaikan yang lebih besar di kemudian hari.

Pekerjaan Ketiga: Memperbaiki Dinding (Ayat 83-87)

Perjalanan mereka berlanjut hingga mereka tiba di sebuah kota. Penduduk kota menolak memberi mereka tumpangan. Di sana, Khidr melihat dinding yang hampir roboh dan memutuskan untuk memperbaikinya tanpa meminta imbalan.

"Adapun dinding itu adalah milik dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda milik mereka berdua, dan ayah mereka seorang yang saleh. Maka Tuhan-mu menghendaki agar keduanya sampai pada usia dewasa dan mengeluarkan simpanan mereka, sebagai rahmat dari Tuhanmu..."

(QS. Al-Kahfi: 87)

Reaksi Musa kali ini lebih terukur, namun ia tetap menyatakan ketidakmampuannya untuk bersabar lagi. Ayat ini menunjukkan keindahan rahmat Allah yang menjaga hak-hak orang lemah (anak yatim) melalui perantara yang berilmu.

Pemisahan dan Pelajaran Pamungkas (Ayat 88-90)

Akhirnya, tibalah saat perpisahan. Khidr memberikan kesimpulan menyeluruh atas segala perbuatannya yang selama ini dianggap Musa sebagai kezaliman atau perbuatan aneh.

"Inilah perpisahan antara aku dan kamu; aku akan memberitahukan kepadamu makna dari apa yang kamu tidak dapat sabar atasnya."

(QS. Al-Kahfi: 78 - Merujuk pada ayat sebelumnya sebagai konteks perpisahan)

Khidr menegaskan bahwa setiap tindakannya didasari oleh kehendak dan ilmu Allah. Jika Musa diperbolehkan melihat hikmah di balik setiap kejadian, kesabarannya pasti akan diuji jauh lebih berat.

Poin Refleksi dari Ayat 80-90

  • Keterbatasan Pandangan Manusia: Ilmu kita terbatas. Apa yang tampak buruk atau tidak adil di mata kita mungkin merupakan kebijaksanaan tertinggi dari Allah.
  • Pentingnya Kesabaran (Shabr): Kesabaran bukanlah pasif, melainkan kunci untuk membuka pemahaman atas ketetapan yang belum kita pahami.
  • Ilmu dan Akhlak: Ilmu sejati selalu terintegrasi dengan amal saleh dan niat melindungi yang lemah (seperti pada kisah perahu dan dinding yatim).

Kisah Nabi Musa dan Khidr hingga ayat ke-90 Al-Kahfi ini berfungsi sebagai cermin abadi bagi umat Islam. Ia menuntut kita untuk senantiasa bersikap rendah hati di hadapan ilmu Allah yang maha luas, dan mempercayai bahwa di balik setiap peristiwa yang tidak kita sukai, tersimpan hikmah dan rahmat ilahi yang tak terduga.

🏠 Homepage