Ilustrasi Lautan dan Kapal Representasi visual tentang kisah Musa dan Khidr, perjalanan, serta ilmu yang tersembunyi.

Kisah Musa dan Khidr: Surat Al-Kahfi Ayat 81-100

Surat Al-Kahfi, surat ke-18 dalam Al-Qur'an, menyimpan banyak pelajaran fundamental tentang keimanan, kesabaran, dan hakikat ilmu. Khususnya pada rentang ayat 81 hingga 100, Allah SWT menceritakan kelanjutan dialog antara Nabi Musa AS dan hamba-Nya yang bijaksana, Khidr AS. Ayat-ayat ini menjadi penutup kisah pertemuan mereka yang penuh misteri dan hikmah, khususnya mengenai tujuan Khidr melakukan tindakan-tindakan yang tampak keliru di mata manusia biasa.

Tujuan Mulia di Balik Tindakan (Ayat 81-82)

Setelah peristiwa perahu dilubangi dan anak yang dibunuh, Nabi Musa akhirnya memahami kedalaman ilmu Khidr. Ayat 81 menjelaskan inti dari tindakan Khidr:

"Adapun perahu itu adalah milik orang-orang miskin yang bekerja di laut; dan aku bermaksud (merusak) perahu itu karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas setiap perahu (yang baik) dengan paksa."

(QS. Al-Kahfi: 81)

Di sini, kita melihat bagaimana Khidr menggunakan kerusakan kecil (melubangi perahu) untuk mencegah kezaliman yang lebih besar (perampasan seluruh armada oleh raja tiran). Ini mengajarkan bahwa terkadang, tindakan yang tampak merugikan dalam jangka pendek adalah penyelamat bagi kerugian yang jauh lebih besar di masa depan. Ini adalah ilmu yang melampaui logika permukaan.

"Adapun anak itu, kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir dia akan membebani kedua orang tuanya (dengan durhaka dan kekafiran). Maka kami menghendaki Tuhan mereka menggantinya dengan yang lebih baik kesuciannya dan lebih dekat kasih sayangnya."

(QS. Al-Kahfi: 80) — *Mengulang konteks singkat untuk pemahaman alur.*

Kemudian, ayat 82 melanjutkan penjelasan mengenai nasib anak tersebut. Khidr memprediksi bahwa anak itu, jika dibiarkan hidup, akan membawa kesengsaraan spiritual bagi orang tuanya yang beriman. Penggantian yang dijanjikan Allah adalah dengan anak yang kelak menjadi lebih saleh dan lebih penyayang. Ini menekankan pentingnya menjaga kemurnian iman keluarga di atas segalanya.

Membangun Kembali dan Rezeki yang Terjamin (Ayat 83-84)

Perjalanan dilanjutkan hingga mereka tiba di sebuah kota. Ketika meminta makanan, penduduk kota enggan memberi mereka tumpangan. Di sinilah mukjizat ketiga terjadi: Khidr mendirikan kembali dinding yang hampir roboh tanpa meminta imbalan sepeser pun.

"Adapun dinding itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada simpanan (harta) bagi mereka berdua, dan ayahnya adalah orang yang saleh. Maka Tuhanmu menghendaki agar keduanya sampai waktu dewasa dan keduanya mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu. Dan aku tidak melakukannya itu menurut kehendakku sendiri. Itulah penjelasan dari apa yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya."

(QS. Al-Kahfi: 82)

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah menjaga harta anak yatim melalui wali yang saleh (meskipun hanya sementara). Tindakan Khidr menegaskan bahwa rezeki yang baik (yang disimpan oleh orang saleh) akan sampai kepada pemiliknya pada waktu yang tepat (saat dewasa), sekaligus menjadi rahmat. Kebaikan orang tua saleh menjadi pelindung bagi keturunan mereka.

Puncak Pelajaran: Batas Ilmu Manusia dan Ilmu Tuhan (Ayat 85-91)

Setelah tiga peristiwa besar, Nabi Musa mengakui keterbatasannya. Ayat 86 hingga 90 membahas pengakuan Musa atas kelebihan ilmu Khidr. Peristiwa ini mencapai klimaksnya ketika mereka melanjutkan perjalanan ke tempat yang lebih terpencil.

Ayat 90 dan 91 menyajikan gambaran tentang kekuatan ilmu yang mengalir dari Allah:

"Dan sungguh, kami telah memberikan kepada mereka keterangan dari segala sesuatu." (Ayat 89, merujuk pada kisah Dzulqarnain yang akan datang)

(QS. Al-Kahfi: 89)

Pelajaran penting di sini adalah tentang **kesabaran dan otoritas**. Musa harus menerima bahwa ia tidak memiliki kapasitas untuk memahami hikmah di balik setiap keputusan ilahi. Ilmu manusia terbatas pada apa yang tampak, sementara ilmu Allah mencakup semua dimensi waktu dan sebab-akibat.

Kisah Dzulqarnain: Kekuatan dan Keadilan (Ayat 92-100)

Bagian akhir dari rentang ayat ini (dimulai dari ayat 84 dan berlanjut hingga 100) beralih membahas kisah Dzulqarnain, seorang penguasa besar yang diberi kekuasaan luas oleh Allah. Kisah ini berfungsi sebagai perbandingan antara kekuasaan yang digunakan untuk berbuat kebaikan dan kekuasaan yang digunakan untuk menindas.

Dzulqarnain berkelana ke tiga arah: barat (tempat matahari terbenam), timur (tempat matahari terbit), dan kemudian ke utara untuk menghadapi kaum Ya'juj dan Ma'juj.

"Hingga apabila ia telah sampai ke tempat terbenam matahari, ia melihat matahari terbenam di dalam mata air yang berlumpur hitam, dan ia mendapati di sisinya (seorang) suatu kaum. Allah berfirman: 'Hai Dzulqarnain, kamu boleh menghukum atau kamu boleh berbuat kebaikan terhadap mereka.'"

(QS. Al-Kahfi: 86)

Respons Dzulqarnain menunjukkan etika kepemimpinan yang ideal: ia memilih untuk menghukum orang yang zalim (dengan menerapkan keadilan ilahi) dan membebaskan orang yang beriman (dengan memberikan kebaikan). Ia tidak menggunakan kekuasaannya semata-mata untuk kepentingan pribadi, melainkan tunduk pada kehendak Allah.

Akhirnya, ketika berhadapan dengan kaum yang diserang oleh Ya'juj dan Ma'juj, Dzulqarnain membangun tembok penghalang yang kokoh (Ayat 98). Tembok ini dibangun bukan karena kekuatannya semata, tetapi dengan pertolongan dan izin Allah, sebagai penutup kisah ini yang menegaskan bahwa segala kekuatan dan kekuasaan hakiki hanyalah milik Allah SWT. Ayat 100 menyimpulkan bahwa keduniaan adalah tipuan, dan balasan sejati ada di akhirat bagi mereka yang beriman dan beramal saleh.

Wallahu a'lam.

🏠 Homepage