Surat Al-Lail (Malam Hari) adalah salah satu surat pendek dalam Al-Qur'an yang kaya akan makna filosofis mengenai perbedaan takdir manusia dan pentingnya berinfak (memberi) di jalan Allah SWT. Khususnya pada ayat 17 hingga 21, Allah SWT memberikan penekanan tegas mengenai ganjaran bagi mereka yang menunaikan kewajiban sosialnya dan ancaman bagi mereka yang enggan.
Ayat-ayat ini menjadi pengingat fundamental bahwa kekayaan dan kemudahan hidup bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana untuk meraih keridaan Ilahi melalui kedermawanan.
Ilustrasi Kedermawanan
Kedermawanan adalah jalan menuju keridaan Ilahi.
Teks dan Terjemahan Surat Al-Lail Ayat 17-21
Ayat-ayat ini membahas dua golongan manusia yang berbeda dalam menyikapi harta dan kebahagiaan duniawi:
(17) Dan orang yang paling bertakwa akan dijauhkan daripadanya (neraka). (18) Orang yang menginfakkan hartanya karena hendak menyucikan dirinya. (19) Dan tiada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalas, (20) melainkan (ia memberikannya) karena mencari keridhaan Tuhannya Yang Maha Tinggi. (21) Dan sungguh, kelak dia akan mendapat kepuasan (diredhai).
Penjelasan Mendalam Ayat 17: Puncak Ketakwaan
Ayat 17, "Dan orang yang paling bertakwa akan dijauhkan daripadanya (neraka)," berfungsi sebagai pembeda utama. Kata ganti "-nya" merujuk pada api neraka yang telah disinggung di ayat-ayat sebelumnya. Allah SWT menegaskan bahwa balasan paling utama dan menyelamatkan adalah terbebas dari siksa neraka. Kriteria untuk mendapatkan pembebasan ini bukanlah hanya sekadar iman, melainkan level tertinggi dari iman, yaitu Al-Atqa (orang yang paling bertakwa).
Ayat 18: Kunci Kesucian Diri Melalui Harta
Bagaimana seseorang mencapai derajat Al-Atqa? Jawabannya ada di ayat 18: "Orang yang menginfakkan hartanya karena hendak menyucikan dirinya." Ini adalah inti dari etika ekonomi Islam. Infak (sedekah atau zakat) bukan hanya soal transfer kekayaan dari tangan ke tangan, melainkan sebuah proses purifikasi batiniah. Ketika seseorang rela melepaskan bagian dari hartanya, ia sedang membersihkan jiwanya dari penyakit kikir, keserakahan, dan cinta dunia yang berlebihan. Harta menjadi alat penyucian, bukan tujuan akhir.
Ayat 19 & 20: Motivasi Infak yang Murni
Ayat 19 dan 20 menjelaskan kemurnian motivasi (niat) dari orang bertakwa:
"Dan tiada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalas, melainkan (ia memberikannya) karena mencari keridhaan Tuhannya Yang Maha Tinggi."
Ini adalah standar emas dalam beramal. Infak mereka tidak didasari oleh keinginan mendapatkan balasan materi dari manusia (tidak ada "hutang budi" sosial yang harus dibayar), tidak pula karena ingin dipuji orang lain. Motivasi tunggal mereka adalah mencari keridhaan Allah SWT, Sang Pencipta yang Maha Tinggi. Kualitas amal ditentukan oleh kualitas niatnya. Ketika niatnya murni mencari Wajah Tuhan, maka amal tersebut memiliki nilai keabadian.
Ayat 21: Janji Kebahagiaan Abadi
Penutup rangkaian ayat ini adalah janji yang sangat menenangkan hati orang-orang beriman: "Dan sungguh, kelak dia akan mendapat kepuasan (diredhai)."
Kata "yurda" (diredhai/mendapat kepuasan) adalah puncak dari segala harapan. Kepuasan di sini mencakup berbagai tingkatan: keridhaan Allah atas dirinya, ketenangan batin di dunia, hingga masuknya ia ke dalam surga yang penuh kenikmatan abadi. Ini adalah hasil logis dari kehidupan yang dihabiskan untuk menyucikan diri dan mengutamakan kehendak Ilahi di atas kepentingan pribadi.
Implikasi Praktis untuk Kehidupan Modern
Konteks Surat Al-Lail ayat 17-21 sangat relevan di era materialisme saat ini. Banyak orang mengumpulkan kekayaan dengan tujuan mencari rasa aman, kebahagiaan, atau status sosial. Namun, ayat-ayat ini mengingatkan bahwa keamanan sejati dan kebahagiaan paripurna hanya datang ketika kita menjadikan harta sebagai sarana beribadah. Dengan secara sadar mempraktikkan infak dengan niat murni hanya untuk Allah, kita tidak hanya membantu sesama tetapi secara fundamental sedang membangun benteng diri kita sendiri dari siksa api dan meraih ridha ilahi yang kekal.
Oleh karena itu, merenungkan ayat ini mendorong kita untuk meninjau kembali portofolio investasi spiritual kita. Apakah harta kita sedang menyucikan kita atau malah mengikat kita pada dunia? Kedermawanan yang ikhlas adalah kunci untuk menunaikan janji agung di ayat terakhir: Wala-sawfa yurda—sungguh, janji itu pasti akan terpenuhi.