Simbol Kebaikan dan Pencerahan
Surat Al-Lail (Malam Hari) merupakan surat ke-92 dalam susunan mushaf Al-Qur’an, yang diturunkan di Mekah. Surat ini secara konsisten membahas tema besar tentang perbedaan jalan hidup manusia—jalan yang mudah menuju kemudahan (kebahagiaan) dan jalan yang sulit menuju kesengsaraan. Allah SWT bersumpah dengan fenomena alam, seperti malam ketika ia menyelimuti, dan siang ketika ia terang benderang, untuk menegaskan kebenaran janji dan ancaman-Nya.
Inti dari surat ini adalah dorongan kepada manusia untuk berinfak dan bertakwa, serta peringatan keras bagi mereka yang kikir dan merasa cukup dengan kekayaan duniawi. Puncak dari pembahasan ini sering kali dirujuk melalui beberapa ayat terakhir yang menjanjikan balasan tertinggi bagi mereka yang mendahulukan ketaatan kepada Allah di atas kepentingan diri sendiri.
Ayat ke-18 dari Surat Al-Lail ini adalah ayat penutup dari rangkaian ayat yang memuji kelompok tertentu dari manusia, yaitu mereka yang mendermakan hartanya. Ayat ini bukanlah sekadar anjuran umum bersedekah, melainkan deskripsi mendalam mengenai kualitas sedekah yang diterima di sisi Allah SWT.
Frasa "يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّىٰ" (menginfakkan hartanya untuk membersihkan diri) adalah kunci pertama. Sedekah yang bernilai tinggi bukanlah sekadar transfer dana dari dompet kaya ke tangan yang membutuhkan. Tujuannya haruslah *tazkiyah*, yaitu penyucian jiwa. Harta yang dikeluarkan berfungsi sebagai pembersih dari penyakit hati seperti cinta dunia yang berlebihan, keserakahan, dan sifat riya (pamer). Ketika seorang hamba berbagi, ia membersihkan hatinya dari sifat kikir, dan pada saat yang sama ia menyucikan hartanya dari hak fakir miskin yang mungkin tersembunyi di dalamnya.
Poin krusial kedua dari ayat ini adalah penegasan tentang motivasi. Allah SWT berfirman: "وَمَا لِأَحَدٍ عِندَهُ مِن نِّعْمَةٍ تُجْزَىٰ" (Dan tidak ada seorang pun yang memberinya balasan yang diharapkan). Ini adalah ujian kemurnian niat. Orang yang dermawan sejati tidak mengharapkan imbalan pujian dari manusia, tidak mengharapkan sanjungan, dan tidak menghitung-hitung jasa kepada penerima sedekah. Motivasi mereka harus terputus total dari ekspektasi duniawi.
Fokusnya beralih sepenuhnya kepada "إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَىٰ" (melainkan semata-mata mencari keridaan Tuhannya Yang Maha Tinggi). Keridaan Allah adalah mata uang tertinggi. Dalam pandangan orang beriman, pujian manusia bersifat sementara dan fana, sementara keridaan Ilahi adalah sumber kebahagiaan abadi. Inilah yang membedakan antara sedekah yang menjadi pahala besar dan sedekah yang sia-sia karena tercampur riya.
Ayat diakhiri dengan janji penutup yang sangat menggugah: "وَلَسَوْفَ يَرْضَىٰ" (Sungguh ia akan mendapatkan keridhaan-Nya). Janji ini adalah puncak dari semua pengorbanan dan keikhlasan. Balasan bagi orang yang bersedekah dengan niat tulus bukanlah sekadar harta berlipat ganda di dunia, meskipun itu mungkin terjadi, tetapi yang utama adalah keridhaan Allah.
Dalam konteks teologis, keridhaan Allah adalah derajat tertinggi yang dapat dicapai seorang hamba, lebih agung daripada surga itu sendiri, sebagaimana disebutkan dalam hadis sahih. Ketika Allah ridha terhadap seorang hamba, maka seluruh kehidupan hamba tersebut—dunia dan akhiratnya—akan dipenuhi keberkahan. Surat Al-Lail menegaskan bahwa jalan menuju keridhaan ilahi ini sering kali harus dilalui melalui pengorbanan harta pribadi yang dibarengi keikhlasan jiwa.
Untuk mengaplikasikan hikmah Al-Lail ayat 18 dalam kehidupan modern, seorang Muslim harus introspeksi diri sebelum menyalurkan bantuan atau amal saleh. Apakah tindakan itu dilakukan untuk meningkatkan citra diri di mata orang lain, ataukah semata-mata karena dorongan iman untuk mencari ridha Sang Pencipta?
Mengingat ayat ini menekankan kesucian niat (membersihkan diri), seorang dermawan harus melatih kesabaran agar tidak terganggu oleh respons negatif atau kurangnya apresiasi. Fokusnya harus selalu pada "Rabbul A’la" (Tuhan Yang Maha Tinggi), yang melihat niat terdalam yang tidak dapat dilihat oleh mata manusia. Dengan demikian, amal kecil yang dilakukan dengan keikhlasan penuh akan jauh lebih berat timbangannya daripada amal besar yang ternoda oleh kesombongan atau keinginan untuk dipuji. Surat Al-Lail, khususnya ayat 18, adalah pengingat abadi bahwa kualitas iman ditentukan oleh kemurnian hati saat berinteraksi dengan harta titipan-Nya.