Surat Al-Lail (Malam) adalah salah satu surat pendek dalam Al-Qur'an yang memuat peringatan keras sekaligus janji manis dari Allah SWT. Surat ini dibuka dengan sumpah demi fenomena alam yang kontras—malam ketika ia menyelimuti, dan siang ketika ia menerangi. Inti dari perenungan ini adalah bagaimana manusia menyikapi karunia hidupnya, terutama dalam konteks harta dan perbuatan baik. Fokus utama pembahasan kita adalah pada ayat-ayat krusial (ayat 6 hingga 10) yang menjelaskan dua jalur berbeda yang bisa ditempuh oleh seorang hamba.
Allah SWT menegaskan bahwa setiap peningkatan atau penurunan nikmat yang diterima manusia adalah bentuk ujian. Ayat 6-10 secara eksplisit menjelaskan bahwa barangsiapa yang memilih jalan kemurahan hati, pengorbanan, dan ketakwaan, maka Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat. Sebaliknya, bagi yang memilih jalan kekikiran, kesombongan, dan menolak kebenaran, Allah akan mempersulit jalannya menuju kebaikan.
6. Adapun orang yang memberikan hartanya dan bertakwa,
7. Dan membenarkan (mempercayai) adanya Al-Husna (balasan yang terbaik, yaitu Surga),
8. Maka kelak akan Kami mudahkan baginya jalan kemudahan (kesenangan).
9. Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak butuh pertolongan Tuhan),
10. Serta mendustakan Al-Husna (pahala terbaik),
Maka kelak akan Kami mudahkan baginya jalan kesukaran (kesulitan).
Penting untuk memahami istilah kunci dalam ayat 7 dan 10, yaitu Al-Husna. Para mufasir sepakat bahwa Al-Husna memiliki makna berlapis. Pertama, ia merujuk pada keimanan dan tauhid itu sendiri. Orang yang bertakwa membenarkan bahwa hanya Allah yang layak disembah. Kedua, Al-Husna merujuk pada janji balasan terbaik dari Allah, yaitu Surga Firdaus.
Orang yang dermawan (ayat 6) tidak sekadar mengeluarkan uang, namun ia melakukannya dengan disertai taqwa—kesadaran bahwa harta itu titipan dan harus digunakan sesuai kehendak pemiliknya. Tindakan memberi ini adalah bukti nyata pembenaran mereka terhadap janji Allah (membenarkan Al-Husna). Hasilnya adalah jalan kemudahan (al-yusra), baik dalam ibadah, menghadapi musibah, hingga mencapai tujuan akhirat.
Sebaliknya, ayat 9 dan 10 menggambarkan kondisi kontras. Orang yang kikir (bakhil) adalah mereka yang menahan hak Allah pada hartanya. Lebih berbahaya lagi, mereka merasa dirinya cukup (istaghna). Perasaan ini seringkali menghasilkan kesombongan dan penolakan terhadap kebenaran Ilahi, karena mereka merasa telah mandiri dan tidak memerlukan pertolongan atau janji dari mana pun.
Akibat dari sikap ini adalah Allah memudahkan mereka menuju jalan kesukaran (al-'usra). Jalan kesukaran ini bisa berarti kesulitan dalam menjalankan ketaatan, hati yang mengeras, pandangan hidup yang sempit, dan pada akhirnya, kesulitan di hari penghisaban. Allah tidak memaksa mereka jatuh, namun karena mereka memilih jalur yang sulit, Allah mempermudah jalan itu bagi mereka sesuai pilihan mereka sendiri. Ini adalah bentuk keadilan ilahi yang sempurna.
Dalam konteks kehidupan modern yang materialistik, ayat-ayat ini sangat relevan. Tantangan terbesar bukanlah sekadar memiliki harta, melainkan bagaimana pandangan kita terhadap harta tersebut. Apakah harta menjadi alat untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui sedekah dan membantu sesama (memilih al-yusra), ataukah harta menjadi sumber kesombongan yang menjauhkan kita dari kebenaran (memilih al-'usra)?
Menyikapi ayat surat al lail ayat 6 10 ini mendorong kita untuk senantiasa menguji niat di balik setiap perbuatan. Dermawan sejati bukanlah yang paling banyak memberi, melainkan yang memberi dengan ketakwaan dan keyakinan penuh bahwa Allah pasti akan membalasnya dengan kemudahan yang jauh lebih besar. Pemahaman ini adalah kunci untuk meraih kebahagiaan sejati, sebagaimana yang dijanjikan dalam ayat-ayat penutup surat Al-Lail.