Memahami Filosofi Mendalam di Balik Suroh Aduha

Ilustrasi sederhana mengenai semangat pengorbanan.

Dalam kalender Hijriah, terdapat dua hari raya besar yang sangat dinantikan oleh umat Islam di seluruh dunia: Idul Fitri dan Idul Adha. Jika Idul Fitri merayakan berakhirnya puasa Ramadan, maka Idul Adha, yang sering juga disebut sebagai Hari Raya Kurban, membawa makna pengorbanan dan ketaatan yang mendalam. Kata kunci yang sering diasosiasikan dengan perayaan ini adalah Suroh Aduha, merujuk pada surat atau kisah yang berkaitan erat dengan peristiwa bersejarah ini.

Secara etimologis, "Adha" berasal dari bahasa Arab yang berarti "berkurban" atau "mendekatkan diri". Perintah untuk melaksanakan ibadah kurban ini berakar kuat pada kisah monumental Nabi Ibrahim AS dan putranya, Nabi Ismail AS. Kisah ini bukan sekadar narasi masa lalu, melainkan pelajaran abadi mengenai ketulusan, kepatuhan total terhadap perintah Ilahi, dan pengorbanan materi demi mencapai keridhaan spiritual.

Kisah Nabi Ibrahim: Puncak Ketulusan

Inti dari semangat Suroh Aduha terletak pada ujian keimanan yang dihadapi oleh Nabi Ibrahim. Setelah penantian panjang dan doa yang tak terhitung, Allah SWT mengaruniakan seorang putra yang sangat dicintainya. Namun, ujian terberat datang ketika Allah memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih putra kesayangannya itu. Dalam konteks teologi Islam, tindakan ini adalah simulasi tertinggi dari penyerahan diri total kepada kehendak Tuhan.

Nabi Ibrahim, dengan keimanan yang teguh, memutuskan untuk melaksanakan perintah tersebut. Ia tidak menunjukkan keraguan atau penolakan, melainkan mempersiapkan segala sesuatunya dengan khidmat. Ketika pisaunya hampir menyentuh leher Ismail, atas izin Allah, muncullah seekor domba jantan sebagai pengganti. Momen ini menegaskan bahwa Allah tidak membutuhkan darah atau daging, melainkan kesiapan hati seorang hamba untuk mengorbankan apa pun yang paling berharga demi-Nya.

Makna Spiritual Suroh Aduha dalam Kehidupan Modern

Mengapa ibadah kurban, yang melibatkan pengorbanan harta benda berupa hewan ternak (unta, sapi, kambing, atau domba), masih relevan hingga kini? Jawabannya terletak pada transformasi spiritual yang di dalamnya terkandung. Kurban adalah sarana untuk membersihkan jiwa dari sifat kikir, egoisme, dan kecintaan berlebihan terhadap duniawi.

Ketika seseorang melaksanakan ibadah kurban, ia sedang meneladani sifat al-Khalil (kekasih Allah), yaitu Nabi Ibrahim. Daging kurban yang dibagikan kepada fakir miskin dan masyarakat luas melambangkan bahwa esensi ibadah ini adalah berbagi dan mempererat tali persaudaraan sosial. Daging kurban dibagi menjadi tiga bagian utama: untuk yang berkurban, untuk kerabat dan tetangga, serta untuk fakir miskin. Pembagian ini memastikan bahwa semangat kebersamaan dan solidaritas menyebar luas, menjadikan hari raya ini sebagai perayaan kolektif.

Bagi seorang Muslim kontemporer, memahami Suroh Aduha berarti memahami bahwa kurban bukan sekadar ritual tahunan, tetapi investasi spiritual. Nilai seekor hewan kurban jauh melampaui nilai materialnya; ia adalah penanda penundukan diri pada hukum Ilahi. Dalam hiruk pikuk kehidupan modern yang seringkali didominasi oleh materialisme, ritual ini berfungsi sebagai pengingat keras bahwa ada nilai yang lebih tinggi daripada kepemilikan pribadi.

Keutamaan dan Tata Cara Pelaksanaan

Keutamaan melaksanakan kurban sangatlah besar. Rasulullah SAW bersabda bahwa darah hewan kurban yang mengalir adalah tebusan dosa dan meninggikan derajat pelakunya di sisi Allah. Ibadah ini dianggap sebagai amal saleh yang paling utama pada hari raya Idul Adha.

Tata cara pelaksanaan kurban harus memperhatikan syarat-syarat yang ketat. Hewan harus sehat, cukup umur (misalnya, kambing minimal satu tahun, sapi minimal dua tahun), dan tidak memiliki cacat fisik yang mengurangi nilai dagingnya. Penyembelihan dilakukan pada waktu yang telah ditentukan, yaitu setelah shalat Idul Adha hingga menjelang maghrib di hari tasyrik terakhir. Proses penyembelihan pun harus dilakukan dengan cara yang paling manusiawi sesuai tuntunan syariat, dengan menyebut nama Allah (Bismillah Wallahu Akbar).

Kesimpulannya, Suroh Aduha bukan hanya tentang hari raya kurban itu sendiri, melainkan tentang menanamkan semangat keteladanan Nabi Ibrahim ke dalam diri kita. Ini adalah pelajaran tentang keikhlasan, keberanian spiritual, dan tanggung jawab sosial yang harus terus kita pupuk sepanjang tahun, menjadikan setiap aspek kehidupan kita sebagai bentuk ketaatan yang mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.

Semoga pemahaman akan makna mendalam dari ibadah ini menginspirasi setiap Muslim untuk senantiasa siap berkorban—baik dengan harta, waktu, maupun tenaga—demi tegaknya nilai-nilai kebaikan dan kemaslahatan umat.

🏠 Homepage