Visualisasi Konsep Keilmuan dan Perenungan.
Tafsir Al-Lail, merujuk pada penafsiran Surah Al-Lail (Surah ke-92 dalam Al-Qur'an), merupakan salah satu kajian penting dalam ilmu tafsir. Dalam konteks kajian Islam kontemporer di Indonesia, nama Firanda Andirja sering dikaitkan dengan pembahasan mendalam mengenai ayat-ayat Al-Qur'an, termasuk surah-surah pendek seperti Al-Lail. Pembahasan beliau biasanya menekankan pada aspek akidah, tarbiyah (pendidikan), dan penerapan praktis dari makna-makna ayat tersebut.
Surah Al-Lail dibuka dengan sumpah Allah SWT: "Demi malam apabila menutupi (siang)," (ayat 1). Sumpah ini segera menarik perhatian karena menunjukkan betapa pentingnya perenungan terhadap fenomena alam sebagai tanda kekuasaan dan kebesaran Sang Pencipta. Dalam tafsir yang disampaikan oleh para ulama, termasuk yang dibahas dalam kajian Firanda, penekanan diletakkan pada kontras antara siang dan malam. Malam sering diibaratkan sebagai waktu di mana manusia kembali kepada fitrahnya, jauh dari hiruk pikuk duniawi, sehingga cocok untuk beribadah dan merenung.
Inti dari Surah Al-Lail terletak pada ayat-ayat berikutnya yang menjelaskan perbedaan jalan hidup manusia. Allah bersumpah lagi: "Dan demi siang apabila terang benderang," (ayat 2). Setelah kontras alamiah ini, ayat 3 dan 4 menjelaskan tujuan dari penciptaan manusia yang berbeda-beda: "Sesungguhnya usaha kamu (manusia) itu berbeda-beda," (ayat 4).
Dalam perspektif tafsir Firanda, ayat ini sering diinterpretasikan sebagai penegasan bahwa manusia diciptakan dengan kapasitas dan pilihan yang berbeda. Ada yang memilih jalan kedermawanan (infaq) dan ketakwaan, sementara yang lain memilih jalan kekikiran dan penyangkalan terhadap kebenaran. Ini bukan berarti Allah menciptakan manusia untuk menjadi jahat, melainkan memberikan kebebasan memilih (ikhtiyar) yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak. Pemahaman ini menekankan konsep amal jariyah dan konsekuensi dari setiap pilihan hidup.
Pembahasan mengenai balasan bagi mereka yang bertakwa menjadi puncak pembahasan surah ini. Ayat-ayat selanjutnya secara eksplisit menjanjikan kebahagiaan tertinggi bagi siapa pun yang menafkahkan hartanya untuk membersihkan jiwanya dan membenarkan apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW. "Adapun orang yang memberikan hartanya (di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga)," (ayat 17-18).
Kajian tafsir ini seringkali mengaitkan 'membersihkan jiwa' dengan proses tazkiyatun-nafs, yaitu penyucian diri dari sifat-sifat tercela. Bagi Firanda, ini adalah proses berkelanjutan. Kedermawanan (infaq) bukan hanya soal finansial, tetapi juga pengorbanan waktu, ilmu, dan tenaga demi mencari keridhaan Allah. Ketika hati telah bersih dan amal telah dilakukan sesuai tuntunan, maka janji surga menjadi kepastian yang memotivasi seorang muslim untuk senantiasa bergerak di jalan ketaatan.
Sebaliknya, surah ini memberikan peringatan keras bagi mereka yang kufur atau kikir. Ayat 8 hingga 10 menjelaskan nasib orang yang bakhil: "Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak butuh kepada Allah), serta mendustakan pahala yang terbaik (surga), maka kelak Kami akan memudahkan baginya kesukaran (neraka)."
Tafsir Al-Lail, melalui lensa pengajaran kontemporer, mengingatkan bahwa kesukaran yang dijanjikan bukanlah sekadar kesulitan duniawi, melainkan kesengsaraan abadi akibat kesombongan dan penolakan untuk berbagi. Rasa 'merasa cukup' (istighna) adalah penyakit hati yang membuat seseorang lupa bahwa segala nikmat berasal dari Allah. Tafsir seperti ini sangat relevan di era modern yang seringkali mendorong individualisme dan materialisme.
Kajian tafsir, termasuk sesi yang dibawakan oleh Firanda mengenai Al-Lail, berfungsi sebagai kompas moral. Ayat-ayat sumpah di awal surah mengajak kita untuk berhenti sejenak, mengamati ciptaan, dan menyadari bahwa setiap kegiatan manusia—baik yang terang (siang) maupun yang tersembunyi (malam)—sedang dicatat. Tujuannya adalah agar seorang mukmin dapat menimbang kembali prioritas hidupnya: apakah ia sedang membangun aset untuk akhirat melalui kedermawanan dan ketakwaan, atau justru membangun benteng kesukaran karena kekikiran dan penolakan terhadap kebenaran. Memahami tafsir ini secara mendalam adalah kunci untuk menjalani kehidupan yang produktif dan bermakna di mata Allah SWT.