Surah Al-Fatihah, "Pembukaan Kitab," adalah surat teragung dalam Al-Qur'an, wajib dibaca dalam setiap rakaat shalat. Ayat ketujuh dan terakhirnya, صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ , merupakan puncak dari permohonan seorang hamba kepada Rabbnya setelah mengakui keesaan-Nya. Ayat ini berisi permintaan spesifik mengenai jenis jalan yang diinginkan untuk diikuti dan jenis jalan yang harus dijauhi.
Secara harfiah, ayat ini berarti: "(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahi nikmat, bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan (pula) jalan mereka yang sesat."
Setelah sebelumnya kita memohon petunjuk kepada jalan yang lurus (Ayat 6), pada ayat 7 ini, kita merinci sifat jalan lurus tersebut. Permohonan ini menunjukkan kerendahan hati total; manusia mengakui bahwa mereka tidak mampu menentukan sendiri mana jalan yang benar tanpa bimbingan dari Allah SWT. Permintaan ini secara umum terbagi menjadi tiga kategori penting yang harus kita pahami maknanya.
Golongan pertama yang kita minta untuk ditunjukkan jalannya adalah orang-orang yang telah dianugerahi nikmat oleh Allah. Siapakah mereka? Mayoritas ulama tafsir sepakat bahwa kelompok ini merujuk pada mereka yang disebutkan dalam ayat sebelumnya (QS. An-Nisa [4]: 69): para Nabi, para Shiddiqiin (orang-orang yang sangat jujur), para Syuhada (orang-orang yang mati syahid), dan orang-orang shalih (saleh).
Nikmat di sini bukan hanya berupa kekayaan materi, tetapi nikmat terbesar adalah nikmat berupa iman, ilmu, dan amal saleh yang diterima di sisi Allah. Mengikuti jalan mereka berarti meneladani integritas, ketaatan, dan konsistensi mereka dalam beribadah dan bermuamalah sesuai tuntunan wahyu. Ini adalah aspirasi tertinggi seorang mukmin: menjadi bagian dari barisan orang-orang yang diridhai Allah.
Bagian kedua adalah penegasan negatif, yaitu memohon agar dijauhkan dari jalan orang-orang yang dimurkai. Dalam banyak riwayat tafsir, terutama dari Ibnu Abbas RA, kelompok ini diidentikkan dengan kaum Yahudi. Mereka mengetahui kebenaran, memahami ayat-ayat Allah, tetapi dengan sengaja menolaknya karena kesombongan, dengki, dan keengganan untuk tunduk pada kebenaran yang datang kepada mereka (seperti kenabian Muhammad SAW).
Murka Allah adalah konsekuensi dari penolakan yang disengaja setelah pengetahuan datang. Ini adalah bahaya yang harus dihindari oleh setiap Muslim: kemudahan dalam menafsirkan atau memahami ayat sesuai hawa nafsu, bukan berdasarkan wahyu.
Kelompok ketiga adalah mereka yang tersesat. Kelompok ini sering diidentikkan dengan kaum Nasrani, bukan karena mereka buruk secara keseluruhan, tetapi karena mereka cenderung beramal tanpa dasar ilmu yang kuat dan berdasarkan semangat yang berlebihan tanpa bimbingan kenabian yang benar. Mereka tersesat karena kebodohan dan mengikuti taklid buta yang menjauhkan mereka dari kebenaran yang murni.
Perbedaan antara kedua kelompok ini sangat penting. Orang yang dimurkai (Yahudi) adalah mereka yang memiliki ilmu tetapi menolaknya (kesalahan dalam kehendak/amal). Sedangkan orang yang sesat (Nasrani) adalah mereka yang beramal tanpa ilmu yang benar (kesalahan dalam pemahaman/keyakinan). Seorang Muslim harus menghindari kedua ekstrem ini: tidak boleh menolak kebenaran yang sudah jelas, dan tidak boleh beramal tanpa bekal ilmu yang sahih.
Ayat ketujuh Surah Al-Fatihah ini berfungsi sebagai sebuah penyaring. Ia menyempurnakan permintaan petunjuk (Ayat 6) dengan mendefinisikan secara konkret tujuan akhir kita: meneladani para Nabi dan orang saleh. Ini adalah doa yang sangat komprehensif, memuat harapan untuk mencapai kebahagiaan tertinggi (nikmat Allah) dan sekaligus permintaan perlindungan dari dua bentuk kesesatan terbesar yang dapat menjerumuskan manusia: penolakan sadar terhadap kebenaran dan kesesatan akibat ketidaktahuan atau kealpaan. Dengan mengucapkannya dalam shalat, kita menegaskan kembali komitmen seumur hidup untuk berjalan pada shiraathal mustaqiim.