Memahami Tuntunan Tauhid: Ayat ke-3 Surah Al-Ikhlas

Ilustrasi Keunikan dan Keberlanjutan Tuhan Gambar minimalis yang menunjukkan satu titik pusat yang dikelilingi oleh keseragaman bentuk tanpa akhir, melambangkan keesaan. 1 Tiada Satupun Serupa
لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ
*Lam yalid wa lam yūlad*
Terjemahan: "(Dia) tidak beranak dan tidak diperanakkan."

Kedudukan Ayat dalam Tauhid Rububiyyah dan Uluhiyyah

Surah Al-Ikhlas (Surah ke-112 dalam Al-Qur'an) sering disebut sebagai sepertiga Al-Qur'an karena ia merangkum inti ajaran Islam yang paling fundamental: tauhid, keesaan Allah SWT. Ayat pertama dan kedua menetapkan bahwa Allah adalah satu-satunya Dzat yang layak disembah (Tauhid Uluhiyyah) dan merupakan satu-satunya tempat bergantung (Tauhid Rububiyyah). Ayat ketiga, "Lam yalid wa lam yūlad" (Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan), adalah penegasan negatif yang sangat krusial untuk membatalkan segala bentuk kesyirikan yang berkaitan dengan perbandingan antara Allah dengan makhluk-Nya.

Penolakan terhadap konsep "beranak" (melahirkan keturunan) dan "diperanakkan" (memiliki asal-usul dari kelahiran) adalah pemurnian total terhadap sifat-sifat makhluk yang melekat pada ciptaan. Dalam konteks pemikiran jahiliyah Arab, ada anggapan bahwa dewa-dewa mereka memiliki hubungan kekerabatan dengan Allah. Sementara itu, di kalangan agama lain, ada keyakinan bahwa Allah memiliki anak atau bahwa Dia sendiri adalah hasil dari kelahiran yang sebelumnya. Ayat ini secara tegas memotong semua spekulasi tersebut.

Implikasi Teologis dari "Lam Yalid" (Tidak Beranak)

Klaim bahwa Allah memiliki anak (seperti yang diyakini sebagian kelompok terhadap Isa 'Alaihis Salam atau Uzair) secara otomatis menempatkan Allah dalam kategori makhluk, yaitu membutuhkan kesinambungan generasi. Kebutuhan akan keturunan menyiratkan kelemahan, kefanaan, dan ketergantungan pada keberlanjutan biologis. Allah, Al-Ahad (Yang Maha Esa), tidak memerlukan pelengkap, pewaris, atau penerus. Keberadaan-Nya mutlak dan mandiri (*Al-Ghaniy*). Jika Dia beranak, maka yang dilahirkan itu haruslah sejenis dengan-Nya, dan jika demikian, maka sifat keesaan-Nya akan terpecah. Oleh karena itu, penafian ini menjaga kesempurnaan dan keabadian zat-Nya.

Makna "Wa Lam Yūlad" (Dan Tidak Diperanakkan)

Ayat ini juga menolak ide bahwa Allah memiliki permulaan atau asal-usul dari keberadaan lain. Konsep "diperanakkan" menyiratkan adanya sebab yang mendahuluinya, yaitu orang tua. Jika Allah diperanakkan, maka pasti ada Dzat yang lebih tinggi dan lebih utama yang menciptakan-Nya. Hal ini akan membuka pintu kepada rantai sebab-akibat yang tak berujung (*infinite regress*), yang bertentangan dengan prinsip bahwa segala sesuatu pasti memiliki Pencipta yang tunggal dan tidak diciptakan.

Dengan mengatakan "Lam yūlad," Al-Qur'an menegaskan bahwa Allah adalah Al-Awwal (Yang Pertama) tanpa permulaan. Dia adalah sebab dari segala sebab. Tidak ada yang mendahului-Nya, dan tidak ada entitas yang eksis sebelum-Nya. Kesempurnaan ini adalah pilar utama yang membedakan Sang Khaliq (Pencipta) dari semua makhluk-Nya.

Relevansi dalam Kehidupan Sehari-hari

Memahami ayat ini bukan sekadar menghafal terjemahan, melainkan menginternalisasi pemahaman bahwa segala bentuk pemujaan harus diarahkan kepada Dzat yang sempurna dan mandiri ini. Ketika seorang Muslim mengucapkan ayat ini, ia sedang memurnikan niat ibadahnya, memastikan bahwa semua harapan, ketakutan, dan pujian hanya ditujukan kepada Dzat yang tidak mungkin dianalogikan dengan apapun. Ayat ini mendorong kita untuk hidup mandiri dalam penghambaan, tidak terikat pada ilusi kekuasaan fana atau mencari pertolongan dari sumber yang lemah dan terbatas. Keagungan yang terungkap dalam ayat ini menuntut pengabdian yang total dan bebas dari segala bentuk perbandingan atau personifikasi. Ayat ke-3 Surah Al-Ikhlas adalah benteng kokoh yang menjaga kemurnian akidah Islam dari segala bentuk penyesatan teologis.

🏠 Homepage