Kisah Surat Al-Fil, atau "Surat Gajah," adalah salah satu narasi paling dramatis dalam sejarah Islam yang dicatat dalam Al-Qur'an. Surat ini menceritakan tentang kegagalan total upaya penghancuran Ka'bah oleh pasukan besar yang dipimpin oleh seorang raja Yaman bernama Abrahah. Fokus utama surat ini adalah menunjukkan betapa kuasa Allah SWT jauh melampaui kekuatan materiil, sekuat apa pun pasukan tersebut.
Untuk memahami kekuatan kisah ini, kita perlu merujuk langsung pada teks ayat-ayatnya. Surat Al-Fil terdiri dari lima ayat pendek yang sangat padat makna. Berikut adalah penulisan lengkap dari ayat ketiga:
Ayat ketiga ini merupakan puncak dari pertanyaan retoris yang dimulai sejak ayat pertama. Untuk apresiasi penuh, mari kita lihat urutannya:
Ayat 3, "Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka itu sia-sia?", adalah sebuah pernyataan penegasan yang sangat kuat. Kata kunci di sini adalah "kaidah" (tipu daya/rencana) dan "tadhliil" (tersesat, sia-sia, hilang arah).
Rencana Abrahah sangat terperinci. Ia memimpin pasukan terbesar dan terkuat pada masanya, termasuk gajah-gajah besar yang bertujuan untuk mengintimidasi dan menghancurkan Ka'bah, pusat ibadah bangsa Arab saat itu. Tujuannya adalah mengalihkan pusat ziarah ke gereja megah yang baru dibangunnya di Yaman. Namun, Allah SWT menunjukkan bahwa rencana manusia, betapapun besar dan terorganisirnya, akan menjadi sia-sia di hadapan kehendak-Nya.
Makna "sia-sia" dalam konteks ini berarti bahwa seluruh usaha, biaya, tenaga, dan waktu yang diinvestasikan Abrahah berakhir tanpa hasil positif bagi tujuannya. Lebih dari itu, rencana itu justru berbalik menjadi kehancuran bagi pasukannya sendiri. Inilah puncak dari "tadhliil"—mereka tersesat dari tujuan, dan rencana mereka tenggelam dalam kegagalan total.
Kisah Al-Fil, yang dirangkum secara singkat dan padat dalam lima ayat ini, memberikan beberapa pelajaran penting bagi umat Muslim:
Ayat 3 secara spesifik mengingatkan kita bahwa setiap rencana yang menentang kebenaran atau mengancam kesucian ajaran Allah pasti akan dipatahkan. Ini memberikan ketenangan batin dan keyakinan bahwa pemeliharaan Allah terhadap agama-Nya adalah mutlak. Kisah ini terjadi tepat sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW, menjadi mukadimah dan tanda awal dari perlindungan besar yang akan mengelilingi beliau dan risalahnya.
Oleh karena itu, merenungkan ayat "Alam yaj'al kaidahum fii tadhliil?" adalah pengingat untuk selalu menaruh harapan tertinggi hanya kepada Allah SWT, sebab tipu daya musuh, sehebat apa pun, akan selalu Allah jadikan hancur berkeping-keping, tanpa sempat mencapai tujuan mereka yang penuh kezaliman.