Visualisasi pertemuan ilmu dan perjalanan kebijaksanaan.
Surat Al-Kahfi (Gua) merupakan salah satu surat terpenting dalam Al-Qur'an, menyimpan empat kisah besar yang menjadi pelajaran abadi bagi umat manusia. Bagian tengah surat ini, khususnya mulai dari ayat 60 hingga 110, menyoroti perjalanan spiritual dan tantangan keilmuan melalui kisah Nabi Musa AS bersama Khidr AS. Bagian ini berfungsi sebagai pengingat bahwa pengetahuan manusia sangat terbatas, dan terkadang, apa yang tampak buruk di permukaan mengandung hikmah kebaikan yang tersembunyi.
Ayat-ayat awal fokus pada penetapan janji antara Nabi Musa dan muridnya, Yusa’ bin Nun, untuk mencari seorang hamba Allah yang saleh, yaitu Khidr. Musa AS, yang dikenal sebagai rasul yang memiliki ilmu laduni (ilmu langsung dari Allah), merasa perlu untuk berguru lebih lanjut. Puncak dari pertemuan ini adalah ketika Musa menyatakan kesediaannya mengikuti Khidr dengan syarat tidak bertanya tentang apa pun yang dilakukan Khidr sampai Khidr sendiri yang menjelaskannya.
"Berkata Musa kepadanya: 'Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarku sebagian dari ilmu yang benar yang telah diajarkan kepadamu?'" (QS. Al-Kahfi: 66)
Tiga peristiwa utama yang terjadi selama perjalanan mereka—melubangi perahu, membunuh seorang anak laki-laki, dan memperbaiki dinding yang hampir roboh—menguji kesabaran Nabi Musa. Setiap tindakan Khidr tampak kontradiktif dengan hukum dan moralitas yang Musa pahami. Perahu yang dilubangi adalah pencegahan dari perampasan oleh raja zalim; anak yang dibunuh adalah karena Allah telah menetapkan bahwa anak itu akan menjadi kafir dan menzalimi orang tuanya; dan dinding yang diperbaiki adalah karena di bawahnya terdapat harta karun milik dua anak yatim piatu yang saleh.
Kisah ini mengajarkan bahwa ilmu Allah jauh melampaui pemahaman nalar manusia biasa. Musa AS, meskipun seorang nabi besar, harus menanggalkan keilmuannya yang tampak dan bersikap rendah hati di hadapan Khidr yang menerima ilmu secara langsung dari sumber ilahi. Kesabaran adalah kunci utama. Ketika Musa melanggar janji untuk tidak bertanya, Khidr menjelaskan bahwa perpisahan mereka adalah karena Musa tidak mampu bersabar dalam menghadapi misteri ilahi. Ini menjadi pelajaran berharga bagi siapa pun yang menempuh jalan mencari ilmu, bahwa seringkali kita harus menerima dan menahan diri sebelum kebenaran terungkap.
Setelah berpisah dengan Khidr, kisah beralih kepada sosok penguasa besar yang adil, Dzulqarnain. Ia berkelana hingga ke ujung timur dan barat bumi. Ia adalah contoh pemimpin yang kuat namun tunduk pada kehendak Allah. Ketika ia mencapai lembah di mana penduduknya merasa terancam oleh serangan kaum Ya’juj dan Ma’juj (Gog dan Magog), mereka meminta bantuannya untuk membangun penghalang.
"Mereka berkata: 'Hai Dzulqarnain, sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj membuat kerusakan di bumi; maka bolehkah kami memberikan kepadamu upeti (hasil bumi) agar kamu membuat dinding penghalang antara kami dan mereka?'" (QS. Al-Kahfi: 94)
Dzulqarnain menolak upeti materi. Ia meminta bahan dari besi dan tembaga, kemudian dengan kekuatan yang dianugerahkan Allah, ia meratakan dinding raksasa yang kokoh, dengan bantuan api dan peleburan logam. Tembok ini dibangun bukan atas dasar keuntungan pribadi, melainkan murni atas dasar keadilan dan perlindungan terhadap kezaliman, sesuai dengan apa yang Allah ridhai.
Ayat-ayat penutup surat ini menjadi peringatan keras bagi umat manusia. Ketika dinding penghalang kaum Ya'juj dan Ma'juj hancur, itu adalah tanda dekatnya hari kiamat. Allah mengingatkan bahwa dunia ini hanyalah perhiasan sementara, dan hari perhitungan adalah kepastian yang nyata.
Bagian krusial dari penutup ini adalah penekanan pada Tauhid (keesaan Allah) dan penolakan terhadap penyekutuan. Allah menegaskan bahwa tidak ada sekutu bagi-Nya, dan segala perbuatan baik yang dilakukan manusia akan dibalas setimpal.
"Katakanlah (Muhammad): 'Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, niscaya akan habis lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu pula.'" (QS. Al-Kahfi: 109)
Ayat 110 menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW hanyalah seorang manusia biasa yang diberi wahyu. Pesan utamanya adalah agar manusia beribadah hanya kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun. Surat Al-Kahfi, khususnya bagian ini, berfungsi sebagai kompas moral dan spiritual, mengajarkan tentang pentingnya kesabaran, kerendahan hati dalam mencari ilmu, keadilan dalam kepemimpinan, dan kesadaran mutlak akan akhirat.