Surat Al-Kahfi, surah ke-18 dalam Al-Qur'an, menyimpan banyak pelajaran penting mengenai ujian keimanan, kesabaran, dan hakikat duniawi. Di antara kisah-kisah heroik di dalamnya, bagian akhir surah ini—khususnya ayat 92 hingga 99—menghadirkan penutup yang kuat mengenai dua tema besar: perjalanan luar biasa Raja Zulqarnain dan peringatan tegas tentang tipuan kehidupan dunia.
Ayat-ayat ini berfungsi sebagai penutup narasi, mengingatkan pembaca bahwa kekuasaan, pencapaian besar, dan harta benda hanyalah sementara jika tidak diiringi keimanan yang benar dan amal saleh.
Setelah membahas kisah Ashabul Kahfi dan pemilik kebun yang kufur nikmat, Allah melanjutkan dengan kisah Raja Zulqarnain, sosok penguasa yang diberi kemampuan luar biasa untuk mengembara ke Timur dan Barat. Ia adalah teladan bagaimana kekuasaan yang besar seharusnya digunakan di jalan Allah.
Ayat ini memulai rangkaian perjalanan kedua Zulqarnain. Kekuatan yang ia miliki digunakan untuk menjelajahi dan menegakkan kebenaran di bumi. Ia tidak menyia-nyiakan anugerah kekuasaan tersebut untuk kesenangan pribadi semata.
Di antara dua gunung, Zulqarnain menemukan suatu kaum yang tertindas oleh kaum barbar bernama Ya'juj dan Ma'juj. Mereka meminta bantuan Zulqarnain, menawarkan imbalan materi demi perlindungan. Perhatikanlah bahwa Zulqarnain tidak langsung menerima tawaran harta tersebut.
Ini adalah titik balik penting. Zulqarnain menunjukkan bahwa tujuan utamanya bukanlah keuntungan duniawi, melainkan mencari keridhaan Allah. Ia menolak upeti tersebut dengan jawaban yang tegas dan penuh hikmah.
Zulqarnain menegaskan bahwa karunia Allah (kekuasaan, ilmu, dan kesempatan berbuat baik) jauh lebih berharga daripada harta yang ditawarkan. Ia meminta bantuan fisik (tenaga kerja), bukan uang. Ini mengajarkan bahwa dalam amal saleh, kerja sama dan pengorbanan fisik seringkali lebih bernilai daripada sumbangan materi semata.
Proses pembangunan tembok ini sangat detail, melibatkan penggunaan teknologi canggih pada masanya (peleburan besi dan penuangan tembaga). Ini menunjukkan bahwa agama Islam tidak anti terhadap kemajuan teknologi, asalkan digunakan untuk tujuan kebaikan dan pertahanan umat.
Setelah kisah Zulqarnain selesai, Allah langsung mengalihkan fokus kembali kepada pembaca, menutup narasi Al-Kahfi dengan peringatan tajam mengenai hari kiamat dan perbandingan antara dunia dan akhirat.
Zulqarnain mengakui bahwa keberhasilan pembangunan tembok itu adalah rahmat Allah. Namun, ia juga menyatakan kepastian bahwa semua pencapaian manusia, sekuat apa pun itu, akan hancur lebur ketika janji Allah (Kiamat) tiba. Ini adalah pengingat tentang kefanaan dunia.
Ayat penutup ini menggambarkan kengerian Hari Kiamat. Kekacauan dan keterkejutan yang dahsyat akan melanda seluruh makhluk, diikuti dengan pemanggilan (tiupan sangkakala) untuk dikumpulkan di hadapan Allah. Ini menegaskan bahwa tidak ada satu pun yang terlewatkan dari pertanggungjawaban akhir.
Ayat 92 hingga 99 Surat Al-Kahfi memberikan kontras yang jelas antara usaha manusia dalam membangun dan mengendalikan dunia (seperti Zulqarnain) dengan kekuasaan mutlak Allah yang tak terbatas. Segala kemuliaan yang kita raih di dunia ini, baik berupa kekayaan, ilmu, atau kekuasaan, hanyalah pinjaman sementara. Nilai sejati dari keberadaan kita ditentukan oleh bagaimana kita menggunakan nikmat tersebut untuk meraih keridhaan Ilahi.
Kisah Zulqarnain mengajarkan bahwa kekuatan harus digunakan untuk keadilan dan membantu yang lemah, bukan untuk penindasan atau pengumpulan harta tak berujung. Sementara itu, ayat penutup memastikan bahwa kesadaran akan akhirat harus menjadi motivator utama setiap tindakan kita. Dunia adalah ladang ujian, dan tembok terbesar yang harus kita bangun adalah benteng takwa dalam hati kita, sebelum Tembok Zulqarnain yang megah sekalipun runtuh di hari kiamat.