Surat Al-Lail (malam) adalah surat ke-92 dalam susunan mushaf Al-Qur'an, terdiri dari 21 ayat. Surat ini termasuk golongan surat Makkiyah dan membahas tema utama tentang perbedaan jalan hidup manusia, baik yang mengorbankan hartanya di jalan Allah demi keridhaan-Nya, maupun yang kikir dan menolak kebenaran.
Salah satu rujukan utama dalam memahami makna mendalam surat ini adalah kitab Tafsir Ibnu Katsir. Imam Ibnu Katsir, seorang ulama besar abad ke-8 Hijriyah, menyajikan penafsiran yang komprehensif berdasarkan Al-Qur'an, As-Sunnah, dan atsar para sahabat, menjadikannya sumber otentik dalam kajian tafsir.
Sumpah Allah di Awal Surat
Surat Al-Lail dimulai dengan beberapa sumpah yang sangat kuat, yang menekankan keagungan ciptaan Allah dan implikasinya terhadap perilaku manusia. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa sumpah-sumpah ini berfungsi untuk menegaskan kebenaran peringatan yang akan disampaikan setelahnya.
Ayat pertama berbunyi: "Demi malam apabila ia menyelimuti" (Wa al-laili idza yaghsya). Ibnu Katsir menafsirkan sumpah ini sebagai teguran terhadap mereka yang memilih kesesatan saat malam tiba dan bersembunyi dari kebenaran. Selanjutnya, Allah bersumpah: "Demi siang apabila ia terang benderang" (Wa an-nahari idza tajalla). Ini adalah penegasan bahwa setiap tindakan manusia, baik di malam hari maupun di siang hari, akan diperhitungkan.
Ibnu Katsir menggarisbawahi bahwa sumpah-sumpah ini menunjukkan betapa luasnya kekuasaan Allah dalam mengatur alam semesta, sehingga manusia seharusnya menyadari kedudukan mereka di hadapan Sang Pencipta.
Perbedaan Jalan Hidup dan Implikasinya
Inti dari tafsir Ibnu Katsir pada surat ini terletak pada perbandingan dua tipe manusia yang dicontohkan dalam ayat 5 hingga 11. Terdapat dua kategori utama:
- Orang yang dermawan dan bertakwa: Mereka yang menginfakkan hartanya untuk mencari keridhaan Allah, tanpa mengharapkan balasan duniawi.
- Orang yang kikir dan angkuh: Mereka yang menolak kebenaran (Al-Haqq), enggan bersedekah, dan merasa cukup dengan hartanya sendiri.
Menurut Ibnu Katsir, ayat-ayat ini memberikan janji tegas. Bagi golongan pertama (dermawan dan bertakwa), Allah menjanjikan kemudahan menuju jalan kemudahan (surga). Allah berfirman: "Maka kelak akan Kami mudahkan baginya jalan kemudahan (syurga)." (Ayat 7). Ini adalah rahmat murni dari Allah, bukan semata-mata karena amal perbuatannya.
Sebaliknya, bagi golongan kedua (kikir dan menolak), mereka akan dipermudah menuju jalan kesengsaraan (neraka). Ini bukanlah takdir yang dipaksakan, melainkan konsekuensi logis dari pilihan mereka untuk menolak petunjuk dan berlaku kikir terhadap nikmat yang telah dianugerahkan Allah.
Pentingnya Tujuan Ikhlas
Salah satu poin penting yang diangkat Ibnu Katsir adalah penekanan pada keikhlasan dalam beramal. Ketika seseorang bersedekah atau beribadah, motivasi utamanya haruslah mencari keridhaan Allah semata, bukan pamer atau mencari pujian manusia.
Ayat 19 menjelaskan hal ini: "Dan tiadalah seorang pun di sisinya itu mempunyai nikmat yang patut dibalasi, kecuali karena mencari keridhaan Tuhannya Yang Maha Tinggi." Ayat ini menegaskan bahwa segala sesuatu yang baik yang dilakukan manusia, jika tujuannya adalah Allah, akan diberi balasan yang setimpal, bahkan lebih utama.
Tafsir Ibnu Katsir pada surat Al-Lail memberikan pemahaman bahwa kehidupan dunia adalah medan ujian antara dua kutub: kedermawanan yang berlandaskan takwa, dan kekikiran yang berlandaskan kesombongan. Pilihan mana pun yang diambil, konsekuensinya telah dijanjikan dengan jelas oleh Allah SWT. Mempelajari tafsir ini membantu seorang Muslim untuk mengoreksi niat dan tindakan agar senantiasa berada di jalan yang diridhai oleh-Nya.