Surat Al-Ikhlas, yang sering disebut sebagai 'seperpertiga Al-Qur'an' karena keagungan konsep tauhid di dalamnya, terdiri dari empat ayat singkat namun padat makna. Ayat pertama menetapkan identitas Allah sebagai Yang Maha Esa (Ahad). Ayat kedua, yang menjadi fokus pembahasan ini, memperluas dan menguatkan konsep tauhid tersebut dengan menegaskan kemandirian mutlak Allah.
Allah tempat bergantung segala sesuatu.
Terjemahan yang paling umum dan diterima untuk "Allahus-Shamad" (ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ) adalah: "Allah tempat bergantung segala sesuatu" atau "Allah Yang Maha Dibutuhkan."
Namun, untuk memahami kedalaman makna kata Ash-Shamad, kita perlu menggali lebih jauh dari sekadar terjemahan harfiah.
Imam Al-Qurtubi dan ulama tafsir lainnya menjelaskan bahwa kata Ash-Shamad memiliki beberapa penafsiran yang semuanya mengarah pada kesempurnaan dan kemandirian Allah:
Ayat kedua ini berfungsi sebagai pelengkap penting bagi ayat pertama ("Qul Huwallahu Ahad"). Jika ayat pertama menetapkan keesaan, ayat kedua menjelaskan bagaimana keesaan itu terwujud dalam sifat-sifat-Nya. Keesaan Allah bukan hanya berarti tidak ada Tuhan lain selain Dia, tetapi juga berarti hanya Dialah yang memiliki otoritas penuh dan kebutuhan mutlak dari semua ciptaan.
Bayangkan alam semesta yang luas ini. Setiap bintang, setiap daun, setiap manusia, semuanya bergantung pada sumber energi, sumber kehidupan, dan pemeliharaan yang berkelanjutan. Ketergantungan total ini membuktikan bahwa hanya satu entitas yang bisa menjadi pusat ketergantungan tersebut, yaitu Ash-Shamad. Jika ada sedikit pun kebutuhan pada ciptaan-Nya, maka Dia bukanlah Tuhan yang sebenarnya.
Dengan memahami Ash-Shamad, seorang Muslim ditarik dari ketergantungan pada benda-benda fana—kekayaan, jabatan, atau kekuatan fisik—menuju sumber kekuatan yang hakiki. Ayat ini menepis segala bentuk kesyirikan (menyekutukan Allah) yang seringkali muncul dalam bentuk ketergantungan hati kepada selain Allah. Ketika seseorang memahami bahwa hanya Allah yang Ash-Shamad, hatinya akan merasa tenang karena sandarannya kokoh, tidak akan goyah oleh cobaan duniawi. Ini adalah pelajaran akidah yang membebaskan jiwa dari perbudakan hawa nafsu dan makhluk.
Ayat ini mengajarkan bahwa permohonan doa harus ditujukan secara eksklusif kepada Dia yang mampu memenuhi segala kebutuhan tanpa batas, tanpa perlu membalas jasa, dan tanpa pernah berkurang kekuasaan-Nya. Inilah inti dari ibadah yang murni, sebagaimana ditekankan dalam surat yang singkat namun universal ini.