Pesona Al-Kahfi: Kisah Hikmah (Ayat 60-110)

K Perjalanan Ilustrasi perjalanan dan persembunyian Ashabul Kahfi.

Perjalanan Mencari Kebenaran (Ayat 60-70)

Surah Al-Kahfi, yang sering dibaca untuk mendapatkan perlindungan dari fitnah Dajjal, menyimpan pelajaran mendalam. Bagian akhir surah ini, dimulai dari ayat 60 hingga 110, adalah puncak narasi yang membahas tentang pentingnya ilmu, kesabaran, dan konsekuensi dari keangkuhan ilmu. Ayat 60 adalah titik balik krusial di mana Nabi Musa bertemu dengan seorang hamba Allah yang lebih berilmu, yaitu Nabi Khidir.

Pertemuan ini menggarisbawahi bahwa ilmu manusia sangat terbatas. Ketika Nabi Musa menyatakan diri paling berilmu, Allah SWT memberikan pelajaran bahwa di antara lautan ilmu manusia, selalu ada samudra ilmu yang lebih luas. Perjalanan bersama Nabi Khidir mengajarkan bahwa hikmah di balik peristiwa yang tampak buruk (seperti merusak perahu, membunuh seorang anak, dan memperbaiki tembok) hanya akan terungkap seiring waktu dan atas izin Allah.

Al-Kahfi: 64

"Ia (Nabi Musa) berkata: 'Itulah yang kita cari!' Kemudian keduanya kembali, lalu mereka berjalan (sehingga mereka sampai kepada kaum Nabi Syuaib)."

Pelajaran Kesabaran dan Integritas (Ayat 71-84)

Ujian kesabaran Nabi Musa berlanjut. Dalam setiap peristiwa, Nabi Musa gagal bersabar karena belum memahami konteks ilahi yang lebih besar. Hikmah dari peristiwa perahu adalah menjaga harta (kehidupan kaum fakir) dari perampasan penguasa zalim. Hikmah dari pembunuhan anak adalah menyelamatkan anak tersebut dari takdir menjadi durhaka kepada orang tuanya di kemudian hari.

Puncak dari pelajaran ini adalah ketika mereka tiba di sebuah desa dan meminta makanan, namun penduduknya menolak memberi mereka tumpangan. Di sinilah Nabi Khidir menunjukkan keagungan ilmu amaliah-nya dengan memperbaiki tembok yang hampir roboh tanpa meminta bayaran. Ini menunjukkan bahwa amal shaleh yang dilakukan karena ikhlas, meskipun tanpa imbalan duniawi, akan dihargai oleh Allah.

Al-Kahfi: 77

"Maka berjalanlah keduanya, sehingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta makanan kepada penduduknya, tetapi penduduknya tidak mahu menjamu mereka."

Setelah Nabi Musa menunjukkan batas kesabarannya dengan mempertanyakan mengapa Nabi Khidir tidak meminta upah atas perbaikan tembok tersebut, barulah rahasia besar diungkapkan. Nabi Khidir mengatakan bahwa jika ia tidak memperbaiki tembok itu, maka akan ada raja yang zalim datang dan merampas semua perahu milik orang baik yang ada di desa itu. Ini menegaskan prinsip bahwa memelihara kebaikan seringkali lebih penting daripada sekadar menuntut hak materi.

Kisah Zulkarnain dan Batasan Kekuasaan (Ayat 85-98)

Narasi kemudian beralih ke kisah Dzulqarnain, seorang penguasa yang diberi kekuasaan besar oleh Allah untuk menjelajahi bumi hingga ke ujung barat dan timur. Ia adalah contoh bagaimana kekuasaan harus digunakan dengan amanah dan keadilan. Dzulqarnain memanfaatkan kekuatannya bukan untuk menindas, melainkan untuk membantu masyarakat tertindas dan menegakkan kebenaran.

Ketika sampai di ujung barat, ia mendapati matahari terbenam di lumpur hitam, dan ketika sampai di timur, ia mendapati matahari terbit di antara dua gunung. Setelah menemui kaum yang diganggu oleh Ya'juj dan Ma'juj, Dzulqarnain membangun sebuah penghalang yang sangat kuat. Ini adalah ujian baginya: apakah ia akan menggunakan kekuatannya untuk kemuliaan diri sendiri, atau untuk melindungi orang lemah. Ia memilih yang terakhir, menunjukkan bahwa kekuasaan sejati adalah yang digunakan untuk melayani dan melindungi.

Al-Kahfi: 90

"Kemudian ia menempuh suatu jalan (menuju tempat matahari terbit)."

Penutup Agung dan Peringatan Final (Ayat 99-110)

Ayat-ayat terakhir Surah Al-Kahfi adalah penutup yang tegas dan peringatan keras bagi seluruh umat manusia. Allah menyatakan bahwa setelah janji-janji kebaikan dan ancaman yang telah disampaikan melalui kisah-kisah tersebut, umat manusia akan dihadapkan pada hari kiamat.

Fokus utama di penghujung surah ini adalah tentang perbandingan antara kehidupan dunia dan akhirat. Dunia adalah kesenangan yang fana, sementara amalan shaleh adalah investasi abadi. Tidak ada yang dapat menyelamatkan manusia dari azab Allah kecuali rahmat-Nya yang datang melalui iman dan amal sholeh yang murni.

Ayat 110 menjadi penutup yang mengharuskan seorang Muslim untuk selalu beramal dan beramal, namun selalu bersandar pada kehendak Ilahi. Mengaitkan harapan hanya kepada Allah adalah benteng terakhir dari kesombongan ilmu atau kesombongan amal.

Al-Kahfi: 110

"Katakanlah: Sesungguhnya Aku ini hanyalah seorang manusia biasa yang sama dengan kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, biarlah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam ibadah kepada Tuhannya."

Renungan mendalam dari bagian akhir Surah Al-Kahfi memberikan kita tiga pilar utama: keterbatasan ilmu manusia, pentingnya kesabaran dalam menghadapi misteri ilahi, dan keharusan menggunakan kekuasaan (apapun bentuknya) untuk keadilan.

🏠 Homepage